JAKARTA. Investasi dengan skema ponzi masih banyak terjadi. Padahal, segala lembaga yang bertujuan melindungi konsumen banyak tersedia dari berbagai tingkatan."Tapi, cara-cara ponzi tidak akan pernah hilang karena ada sifat dasar manusia yang greedy," tandas Sarjito, Sarjito, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin, (23/6).Makanya, para konsumen selalu diwajibkan untuk selalu waspada. Jangan mudah terayu dengan skema investasi tertentu yang menawarkan imbal hasil menggiurkan dan dibubuhi kisah-kisah sukses beberapa nasabahnya.Sebenarnya, ada beberapa poin sederhana supaya para konsumen tidak mudah terjebak dalam investasi bodong. Pertama, soal izin. Nasabah wajib kritis mencermati siapa yang mengeluarkan dan izin apa yang dikeluarkan atas sebuah skema investasi.Jika dalam kegiatan bisns sebuah perusahaan investasi, misalnya investasi emas, telah menjual jenis atau jumlah emas melewati batas yang diizinkan oleh Bapepti, maka hal itu merupakan indikasi kuat adanya skema ponzi."Yang kedua, kalau tren seperti zaman sekarang, jangan mudah percaya dengan cara penjualan yang menonjolkan sisi selebritis dan menyentuh sisi keimanan tertentu," tegas Sarjito.Contohnya, Michael Ong, mantan Direktur Utama Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang membawa kabur duit investasi para nasabahnya. Dikabarkan, Ong merupakan seorang mualaf. Hal ini cukup efektif membuat nasabah mempercayakan duitnya diinvestasikan ke GTIS.Selain seorang mualaf, Ong juga sempat beberapa kali menemui pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepanjang perjalanan bisnisnya. Hal ini semakin memberikan kesan kepada nasabah bahwa bisnis GTIS seolah-olah halal tanpa ada sedikit pun skema ponzi.Jadi, selalu cermati dan kritis akan hal-hal seperti itu. Skema ponzi tidak akan bisa hilang selama ada naluri ingin kaya secara instan. Para pelakunya juga sangat getol dan sabar. Mereka bisa mempersiapkan kejahatannya untuk waktu yang lama, persiapannya bisa tiga tahun."Makanya kalau ada iming-iming seperti itu, sederhananya it's too good to be true. Iming-iming itu sudah terlalu manis jika dalam kenyataan, sudah tidak rasional," pungkas Sarjito.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
OJK: Jangan terkecoh selebritas investasi bodong
JAKARTA. Investasi dengan skema ponzi masih banyak terjadi. Padahal, segala lembaga yang bertujuan melindungi konsumen banyak tersedia dari berbagai tingkatan."Tapi, cara-cara ponzi tidak akan pernah hilang karena ada sifat dasar manusia yang greedy," tandas Sarjito, Sarjito, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin, (23/6).Makanya, para konsumen selalu diwajibkan untuk selalu waspada. Jangan mudah terayu dengan skema investasi tertentu yang menawarkan imbal hasil menggiurkan dan dibubuhi kisah-kisah sukses beberapa nasabahnya.Sebenarnya, ada beberapa poin sederhana supaya para konsumen tidak mudah terjebak dalam investasi bodong. Pertama, soal izin. Nasabah wajib kritis mencermati siapa yang mengeluarkan dan izin apa yang dikeluarkan atas sebuah skema investasi.Jika dalam kegiatan bisns sebuah perusahaan investasi, misalnya investasi emas, telah menjual jenis atau jumlah emas melewati batas yang diizinkan oleh Bapepti, maka hal itu merupakan indikasi kuat adanya skema ponzi."Yang kedua, kalau tren seperti zaman sekarang, jangan mudah percaya dengan cara penjualan yang menonjolkan sisi selebritis dan menyentuh sisi keimanan tertentu," tegas Sarjito.Contohnya, Michael Ong, mantan Direktur Utama Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang membawa kabur duit investasi para nasabahnya. Dikabarkan, Ong merupakan seorang mualaf. Hal ini cukup efektif membuat nasabah mempercayakan duitnya diinvestasikan ke GTIS.Selain seorang mualaf, Ong juga sempat beberapa kali menemui pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepanjang perjalanan bisnisnya. Hal ini semakin memberikan kesan kepada nasabah bahwa bisnis GTIS seolah-olah halal tanpa ada sedikit pun skema ponzi.Jadi, selalu cermati dan kritis akan hal-hal seperti itu. Skema ponzi tidak akan bisa hilang selama ada naluri ingin kaya secara instan. Para pelakunya juga sangat getol dan sabar. Mereka bisa mempersiapkan kejahatannya untuk waktu yang lama, persiapannya bisa tiga tahun."Makanya kalau ada iming-iming seperti itu, sederhananya it's too good to be true. Iming-iming itu sudah terlalu manis jika dalam kenyataan, sudah tidak rasional," pungkas Sarjito.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News