OJK kaji penawaran saham minimal 30%



JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meningkatkan likuiditas saham beredar di publik. OJK tengah mengkaji aturan bagi perusahaan yang hendak melakukan penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) setidaknya harus melepas 30% saham ke publik. Tujuannya agar pergerakan saham si calon emiten nantinya bisa likuid.

Namun, kewajiban melepas saham IPO minimal 30% ini kemungkinan hanya berlaku bagi calon emiten yang kapitalisasinya kecil. Bagi calon emiten dengan kapitalisasi besar akan dikecualikan.

Menurut Nurhaida, Dewan Komisioner OJK bidang Pengawasan Pasar Modal, ada daya serap berbeda pada perusahaan besar yang memiliki harga saham tinggi dengan perusahaan yang skalanya kecil. "Kami coba lihat titik keseimbangan dimana. Kami hanya ingin emiten sahamnya lebih likuid," ucap Nurhaida, kemarin.


Saat ini, OJK sedang sosialisasi terkait hal tersebut. Ia menjelaskan, ketentuan tersebut akan masuk dalam aturan penawaran saham perdana (IPO).

OJK juga akan mengusulkan insentif bagi perusahaan yang melepas saham ke publik hingga 30%. Saat ini, perusahaan yang melepas 40% saham ke publik memperoleh insentif pajak penghasilan (PPh).

Namun, Nurhaida bilang, aturan tersebut masih dalam wacana. "Masih perlu kajian," ungkap dia. OJK juga tengah berusaha meningkatkan jumlah emiten yang melantai di bursa alias initial public offering (IPO). Caranya dengan merampingkan persyaratan bagi perusahaan yang ingin IPO.

Seperti, nantinya bisa mendaftar online atau e-registration. Jadi, ketentuan yang semestinya dipenuhi dalam beberapa rangkap tak perlu lagi dipenuhi, sehingga mengurangi biaya perusahaan.

Langkah ini untuk meningkatkan jumlah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Maklum, jumlah emiten BEI paling seedikit di Asia.

Pengamat pasar modal, Irwan Ariston Napitupulu menilai, rencana OJK mengubah ketentuan saham minimal yang dilepas bisa meningkatkan likuiditas. Tapi, mekanismenya tak akan mudah. Jika ketentuan ini berlaku surut, bisa saja emiten yang jumlah saham publiknya mini malah berakhir delisting. Dus, emiten yang sudah listing tak perlu dikenakan aturan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana