KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga Mei 2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio kredit bermasalah atawa non performing financing (NPF) industri multifinance menyentuh level 4,05%. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan bulan April dan Februari 2021 yang masing-masing sebesar 3,88% dan 3,93%. Catatan ini menjadi rekor tertinggi NPF sepanjang 2021. Menurut Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan, data sampai dengan bulan Mei 2021 menunjukkan tren kenaikan NPF sejalan dengan tekanan akibat pandemi covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. "Industri pembiayaan masih dapat mengelola kenaikan NPF tersebut yang didukung dengan buffer permodalan yang cukup memadai. Kenaikan NPF ini lebih banyak dikontribusi oleh penurunan new booking yang sangat signifikan akibat rendahnya permintaan pembiayaan dan di saat yang bersamaan kolektibilitas pembiayaan mengalami tekanan cukup berat akibat penurunan kemampuan debitur untuk melakukan angsuran, terutama debitur yang bekerja di sektor informal," jelas Bambang kepada Kontan.co.id, Senin (19/7).
OJK: Kenaikan NPF lebih banyak dikontribusi oleh penurunan permintaan pembiayaan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga Mei 2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio kredit bermasalah atawa non performing financing (NPF) industri multifinance menyentuh level 4,05%. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan bulan April dan Februari 2021 yang masing-masing sebesar 3,88% dan 3,93%. Catatan ini menjadi rekor tertinggi NPF sepanjang 2021. Menurut Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan, data sampai dengan bulan Mei 2021 menunjukkan tren kenaikan NPF sejalan dengan tekanan akibat pandemi covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. "Industri pembiayaan masih dapat mengelola kenaikan NPF tersebut yang didukung dengan buffer permodalan yang cukup memadai. Kenaikan NPF ini lebih banyak dikontribusi oleh penurunan new booking yang sangat signifikan akibat rendahnya permintaan pembiayaan dan di saat yang bersamaan kolektibilitas pembiayaan mengalami tekanan cukup berat akibat penurunan kemampuan debitur untuk melakukan angsuran, terutama debitur yang bekerja di sektor informal," jelas Bambang kepada Kontan.co.id, Senin (19/7).