KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji formulasi yang tepat terkait kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19. Regulator berencana memperpanjang relaksasi itu namun dengan mulai melakukan normalisasi secara bertahap agar dampaknya minimum. Kebijakan restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 yang dilakukan terbukti mampu meredam dampak Covid 19 dan menjaga stabilitas sektor jasa keuangan dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami tekanan. Namun, OJK melihat bahwa kebijakan restrukturisasi kredit ini tetaplah menimbulkan dilema. Memberhentikan kebijakan restrukturisasi terlalu dini dapat menyebabkan
cliff effect dan
shock pada industri perbankan. Namun, relaksasi terlalu lama dapat menciptakan
moral hazard dan menimbulkan budaya tidak membayar dan pada akhirnya risiko sistemik.
Sementara saat ini, tantangan ekonomi masih besar di tengah tingginya tensi geopolitik global, disrupsi rantai pasok, serta tingginya harga komoditas dan energi. Selain itu, peningkatan inflasi dan suku bunga yang memicu stagflasi pun masih membayangi optimisme pemulihan ekonomi.
Baca Juga: Frekuensi Transaksi Layanan Cash Management BRI Mencapai 33,6 Juta Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, OJK mempertimbangkan efektivitas kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit secara
targeted baik dilihat dari sektor ekonomi, segmen kredit, maupun kondisi pemulihan ekonomi suatu wilayah. Salah satu yang dinilai masih butuh perpanjangan restrukturisasi kredit adalah wilayah Bali. "Dalam hal ini kami melihat bahwa provinsi Bali masih jadi wilayah dengan tingkat pemulihan relatif lebih rendah dari wilayah lainnya. Hingga kuartal II 20202, pertumbuhan ekonomi domestik masih tumbuh positif sebesar 5,44% YoY, namun pertumbuhan Bali-Nusra menunjukkan pertumbuhan terkecil dibandingkan pulau lainnya (3,94% YoY)," kata Dian pada Kontan.co.id, Selasa (11/10). Dian bilang, target wisatawan di kawasan tersebut masih di bawah level sebelum pandemi dan beberapa pelaku usaha pariwisata masih membutuhkan tambahan modal kerja untuk terus mengembalikan tingkat ekonomi kembali seperti sebelum pandemi. Ia menegaskan kembali bahwa kebijakan restrukturisasi merupakan langkah antisipatif untuk membantu debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki prospek usaha tetapi butuh waktu lebih panjang untuk bisa kembali normal. Langkah ini juga untuk membantu perbankan dalam menata kinerja keuangannya terutama dari sisi mitigasi risiko kredit. OJK mencermati bahwa pemulihan debitur terdampak Covid-19 yang direstrukturisasi memiliki tingkat pemulihan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, kata Dian, OJK saat ini mengkaji melakukan perpanjangan namun tetap melakukan normalisasi dengan dampak minimum dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi lainnya seperti potensi dan tantangan pemulihan ekonomi ke depan. Sebagai bentuk penerapan manajemen risiko, perbankan harus membentuk pencadangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku baik untuk Bank Umum maupun BPR. Dian mengatakan, OJK terus memonitor kecukupan pembentukan pencadangan yang telah dilakukan perbankan dalam mengantisipasi potensi pemburukan risiko kredit. Berdasarkan asesmen terbaru, secara umum OJK menilai ketahanan perbankan masih mampu untuk menyerap potensi pemburukan kredit restrukturisasi saat ini. "Rasio pencadangan terpantau terus menunjukkan peningkatan yang diiringi dengan rasio permodalan yang kuat. Dampak dari potensi pemburukan kredit restrukturisasi tersebut diharapkan tidak berdampak signifikan terhadap permodalan bank," kata Dian. Sebelumnya, Sunarso, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, perbankan sekarang sulit untuk mendukung pemulihan ekonomi Bali karena terhalang portofolio lama yang belum terselesaikan dan telah masuk dalam ketegori unsustain.
Baca Juga: Bank BRI Buyback Saham Senilai Rp 3 Triliun, Begini Kata Pengamat Ia punya usulan yang mungkin bisa dikaji regulator dalam mengatasi permasalahan kredit di Bali, yaitu membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) khusus Bali.
"Ini hanya usul saya buat diskusi ya, masih perlu dikaji," ujarnya, Jumat (7/10). Menanggapi hal itu, OJK memandang sejauh ini belum diperlukan adanya pembentukan lembaga khusus untuk penyelesaian kredit karena perbankan dinilai masih dapat melakukan penyelesaian kredit secara mandiri antara lain melalui penghapusan kredit macet atau bekerjasama dengan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) sebagaimana yang saat ini juga telah dilakukan oleh beberapa bank dalam pengelolaan aset bermasalahnya. Namun, Dian mengatakan kemungkinan pembentukan lembaga penyelesaian asset masih tetap terbuka dan akan terus disesuaikan dengan perkembangan kondisi perbankan dan perekonomian ke depan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi