KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK Nomor 20 Tahun 2023. Dalam POJK itu, terdapat pengaturan produk asuransi yang dikaitkan dengan kredit oleh perusahaan asuransi umum dan produk asuransi yang dikaitkan dengan pembiayaan syariah oleh perusahaan asuransi umum syariah. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa mengatakan penerbitan POJK Nomor 20 Tahun 2023 bertujuan untuk mendorong perusahaan asuransi menjalankan mekanisme mitigasi yang lebih optimal atas eksposur risiko yang ditanggung oleh perusahaan asuransi dari pemasaran jenis produk asuransi yang dikaitkan dengan kredit atau pembiayaan syariah. "Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa substansi utama yang dimuat dalam ketentuan, antara lain mengatur tentang penyediaan akses perusahaan asuransi terhadap data penyaluran kredit/pembiayaan,
sharing of risk antara perusahaan asuransi dengan bank/lembaga pembiayaan, dan batas maksimum premi asuransi kredit yang dialokasikan sebagai komisi atau biaya akuisisi," kata Aman dalam keterangan resmi, Selasa (10/1).
Dalam POJK Nomor 20/2023 Pasal 2 diatur rinci, pada ayat (1) perusahaan asuransi umum dapat memasarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan kredit, lalu ayat (2) perusahaan asuransi umum syariah dapat memasarkan produk asuransi syariah yang dikaitkan dengan pembiayaan syariah.
Baca Juga: Ini 3 Kelompok Jemaah yang Harus Melunasi Biaya haji 2024 Mulai Januari 2024 Dalam ayat (3) dijelaskan, Produk Asuransi yang dikaitkan dengan Kredit meliputi produk Asuransi Kredit atas transaksi penyaluran Kredit, produk Asuransi Kredit atas transaksi perdagangan, dan produk Asuransi kecelakaan diri yang memberikan manfaat pembayaran kewajiban finansial Debitur kepada Kreditur atas risiko. Dalam Pasal 2 ayat (4), Produk Asuransi Syariah yang dikaitkan dengan Pembiayaan Syariah meliputi produk Asuransi Pembiayaan Syariah atas penyaluran Pembiayaan Syariah, produk Asuransi Pembiayaan Syariah atas transaksi perdagangan, produk Asuransi kecelakaan diri yang memberikan manfaat pembayaran kewajiban finansial Debitur kepada Kreditur atas risiko. Baik produk tersebut pada asuransi umum dan asuransi umum syariah pembayaran risiko yang dimaksud berupa: Debitur meninggal dunia akibat kecelakaan, debitur mengalami cacat tetap keseluruhan atau sebagian akibat kecelakaan, debitur mengalami kondisi sakit kritis, atau debitur kehilangan pekerjaan yang bukan disebabkan oleh permintaan debitur, perbuatan melanggar hukum, atau pelanggaran perjanjian kerja oleh debitur. Dalam ayat (5), disebutkan Produk Asuransi Kredit dan Produk Asuransi Pembiayaan Syariah hanya dapat menanggung risiko kegagalan Debitur dalam memenuhi kewajibannya kepada Kreditur. Selain itu, Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah yang akan memasarkan produk yang dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah, harus memenuhi ketentuan tingkat kesehatan dengan peringkat komposit paling rendah peringkat 2 sebagaimana diatur dalam POJK mengenai penilaian tingkat kesehatan lembaga jasa keuangan nonbank. Selain itu, tingkat solvabilitas minimum sebagaimana diatur dalam POJK mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dan POJK mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, serta kecukupan investasi sebagaimana diatur dalam POJK mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, serta dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
Baca Juga: Mengintip Kondisi Kesehatan Industri Asuransi di Tanah Air Dalam Pasal 3, secara rinci perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah dilarang memberikan pertanggungan atau pengelolaan atas risiko meninggal dunia alami. Dalam hal terdapat pertanggungan atas risiko meninggal dunia alami, perusahaan asuransi umum wajib melakukan kerja sama dengan perusahaan asuransi jiwa. Dalam hal terdapat pengelolaan atas risiko meninggal dunia alami, perusahaan asuransi umum syariah wajib melakukan kerja sama dengan perusahaan asuransi jiwa syariah. Dalam hal perusahaan asuransi umum atau perusahaan asuransi jiwa yang melakukan kerja sama harus memenuhi kondisi sedang dikenai larangan memasarkan produk Asuransi yang dikaitkan dengan Kredit berdasarkan instruksi OJK, sedang dikenai larangan memasarkan produk Asuransi yang dikaitkan dengan Kredit berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau perjanjian kerja sama berakhir. Adapun perusahaan asuransi umum atau perusahaan asuransi jiwa wajib menghentikan pemasaran produk asuransi bersama tersebut dan melanjutkan pertanggungan yang sedang berjalan sampai dengan masa pertanggungan berakhir. Hal yang sama juga berlaku pada Perusahaan Asuransi Umum Syariah atau Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah yang melakukan kerja sama, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (6). Dalam Pasal 4, dijelaskan Perusahaan asuransi Umum yang memasarkan produk Asuransi Kredit dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib memiliki rasio likuiditas paling rendah 150% dan ekuitas minimum Rp 250 miliar atau 150% dari ketentuan ekuitas minimum yang berlaku, yang lebih tinggi sampai 31 Desember 2028, atau Rp 1 triliun setelah 31 Desember 2028.
Baca Juga: Kondisi Kesehatan Industri Asuransi Sedang Diuji, AAUI: Penguatan Modal Adalah Kunci Bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah, rasio likuiditas dana perusahaan dan dana tabarru masing-masing paling rendah 150% dan total ekuitas dana perusahaan setelah memperhitungkan kebutuhan untuk pemberian qardh kepada dana tabarru paling sedikit Rp 100 miliar atau 150% dari ketentuan ekuitas minimum yang berlaku, mana yang lebih tinggi sampai 31 Desember 2028, atau Rp 500 miliar setelah 31 Desember 2028.
Dalam Pasal 5, dijelaskan Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib memiliki pembagian risiko dengan Kreditur dalam penyelenggaraan Produk Asuransi Kredit dan Asuransi Pembiayaan Syariah. Selain itu, Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah wajib menetapkan risiko yang ditanggung Kreditur paling sedikit 25% dari nilai saldo Kredit atau Pembiayaan Syariah pada waktu terjadi risiko yang ditanggung, lalu bagian risiko yang ditanggung Kreditur wajib dicantumkan dalam polis asuransi. Sementara itu, Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah dilarang menerima pertanggungan risiko atas bagian risiko yang ditanggung Kreditur. Dalam Pasal 6, disebutkan nilai pertanggungan atau manfaat bruto dan nilai retensi sendiri untuk setiap risiko pada Asuransi Kredit atau Asuransi Pembiayaan Syariah berlaku ketentuan: Nilai pertanggungan/manfaat bruto paling tinggi 10% dari ekuitas Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah, lalu nilai retensi sendiri paling tinggi 5% dari ekuitas Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Asuransi Umum Syariah. Pada Pasal 8 ayat (1), pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 7 bisa dikenakan sanksi administratif berupa, peringatan tertulis atau penurunan tingkat kesehatan. Selain mengenakan sanksi administratif, pada Pasal 9 disebutkan OJK berwenang melakukan penilaian kembali terhadap pihak utama Perusahaan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati