JAKARTA. Awal yang buruk bagi industri perbankan dalam mencatat kinerja keuangan. Pasalnya, bank membukukan pertumbuhan laba yang rendah yang disebabkan oleh perlambatan kredit diikuti dengan kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengakui, ada tekanan dari kredit macet, sehingga regulator rutin melakukan pertemuan dengan perbankan untuk mengantisipasi risiko kredit agar tidak terjadi pembengkakan. "Bank sudah antisipasi dengan menaikkan provisi," katanya kemarin. Regulator memproyeksikan, perbankan akan menjaga rasio kredit bermasalah, kalaupun ada kenaikan hanya naik 0,12% sepanjang akhir tahun ini. Namun, jika rasio NPL net sudah mencapai 2% maka perlu dicermati. Menurutnya, penyebab kenaikan NPL karena perlambatan ekonomi yang menyebabkan pendapatan masyarakat menurun kemudian merembet pada pelemahan konsumsi. Kemudian, dari sisi eksternal juga menyumbang terjadinya kredit macet pada bank, khususnya penurunan permintaan dan harga pada komoditas. Donsuwan Simatupang, Direktur Bank Rakyat Indonesia (BRI) menargetkan, rasio kredit macet BRI tidak lebih dari 2,2% (gross). Strateginya adalah memperbaiki struktur pemberian kredit pada segmen menengah dan ritel, karena sektor ini penyumbang kenaikan NPL di BRI. "Kami akan batasi lima segmen bisnis di masing-masing wilayah," ucapnya. Wan Razly Abdullah, Direktur Keuangan Bank CIMB Niaga mengatakan, pihaknya akan berbenah diri untuk memangkas kredit bermasalah yang berdampak pada penurunan laba. Nah, kredit macet ini berasal dari pembiayaan ke sektor komoditas dan industri yang terkait dengan batubara, karena penurunan harga diikuti dengan penurunan permintaan. “Kami akan membatasi kredit ke komoditas,” kata Wan. Selanjutnya, strategi perusahaan untuk menurunkan kredit macet pada sektor komoditas adalah mengupayakan debitur membayar utangnya dengan restrukturisasi kredit, menjual jaminan atau mencari investor. Serta selektif memberikan kredit ke korporasi. Berdasarkan data rasio NPL gross untuk kredit korporasi mencapai 7,9% per kuartal I/2015 atau naik 400 bps, dibandingkan posisi 3,9% per kuartal I/2014. Sedangkan kredit korporasi tumbuh 16,3% menjadi Rp 55,53 triliun per kuartal I/2015, dibandingkan posisi Rp 47,74 triliun per kuartal I/2014. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
OJK minta bank waspada tekanan kredit macet
JAKARTA. Awal yang buruk bagi industri perbankan dalam mencatat kinerja keuangan. Pasalnya, bank membukukan pertumbuhan laba yang rendah yang disebabkan oleh perlambatan kredit diikuti dengan kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengakui, ada tekanan dari kredit macet, sehingga regulator rutin melakukan pertemuan dengan perbankan untuk mengantisipasi risiko kredit agar tidak terjadi pembengkakan. "Bank sudah antisipasi dengan menaikkan provisi," katanya kemarin. Regulator memproyeksikan, perbankan akan menjaga rasio kredit bermasalah, kalaupun ada kenaikan hanya naik 0,12% sepanjang akhir tahun ini. Namun, jika rasio NPL net sudah mencapai 2% maka perlu dicermati. Menurutnya, penyebab kenaikan NPL karena perlambatan ekonomi yang menyebabkan pendapatan masyarakat menurun kemudian merembet pada pelemahan konsumsi. Kemudian, dari sisi eksternal juga menyumbang terjadinya kredit macet pada bank, khususnya penurunan permintaan dan harga pada komoditas. Donsuwan Simatupang, Direktur Bank Rakyat Indonesia (BRI) menargetkan, rasio kredit macet BRI tidak lebih dari 2,2% (gross). Strateginya adalah memperbaiki struktur pemberian kredit pada segmen menengah dan ritel, karena sektor ini penyumbang kenaikan NPL di BRI. "Kami akan batasi lima segmen bisnis di masing-masing wilayah," ucapnya. Wan Razly Abdullah, Direktur Keuangan Bank CIMB Niaga mengatakan, pihaknya akan berbenah diri untuk memangkas kredit bermasalah yang berdampak pada penurunan laba. Nah, kredit macet ini berasal dari pembiayaan ke sektor komoditas dan industri yang terkait dengan batubara, karena penurunan harga diikuti dengan penurunan permintaan. “Kami akan membatasi kredit ke komoditas,” kata Wan. Selanjutnya, strategi perusahaan untuk menurunkan kredit macet pada sektor komoditas adalah mengupayakan debitur membayar utangnya dengan restrukturisasi kredit, menjual jaminan atau mencari investor. Serta selektif memberikan kredit ke korporasi. Berdasarkan data rasio NPL gross untuk kredit korporasi mencapai 7,9% per kuartal I/2015 atau naik 400 bps, dibandingkan posisi 3,9% per kuartal I/2014. Sedangkan kredit korporasi tumbuh 16,3% menjadi Rp 55,53 triliun per kuartal I/2015, dibandingkan posisi Rp 47,74 triliun per kuartal I/2014. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News