KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian BUMN bisa mengambil opsi penyelamatan PT Garuda Indonesia (Persero) dengan skema debt to equity swap terhadap kredit yang ada di perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai status utang yang akan dikonversi menjadi ekuitas itu bisa diambil. “Dalam rangka penyelamatan kredit, bank diperbolehkan untuk melakukan penyertaan modal sementara dengan tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat kepada KONTAN pada Rabu (9/6). Artinya, perbankan bisa saja menerima tawaran negosiasi dari Kementerian BUMN terkait status kredit Garuda di perbankan. Sebenarnya, skema debt to equity swap ini bukanlah barang baru di dunia perbankan. OJK telah mengatur mengenai penyertaan modal sementara terhadap kredit yang gagal dalam POJK No.36 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Penyertaan Modal.
Harian KONTAN pada 24 Mei 2004 memberitakan Bank Mandiri pernah melakukan skema
debt to equity swap. ECW Nelloe, Direktur Utama Bank mandiri kala itu menyatakan proses debt to equity swap atas utang Semen Kupang sebesar Rp 372 Miliar. Bank masuk sebagai pemegang saham sampai 46%. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo menyebut utang itu harus direstrukturisasi. Menurutnya, bila penyelamatan ini tidak dilakukan maskapai pelat merah ini bakal makin kesusahan di masa mendatang.
Baca Juga: Kementerian BUMN: Penyelesaian kredit Garuda bisa pakai skema debt to equity swap “Memang yang menjadi krusial saat proses restrukturisasi sebagai contoh utang (kredit) di Bank Himbara itu tidak mungkin di
hair cut. Dia hanya mungkin dikonversi menjadi ekuitas seperti zaman dahulu yang juga ada kredit dijadikan ekuitas,” ujar Tiko panggilan akrab Wamen BUMN dalam acara Kontan-Kompas TV: Business Talk pada Selasa malam (9/6). Utang maupun kredit Garuda yang ada di bank maupun lessor pesawat kemungkinan akan menggunakan skema
debt to equity swap untuk menyelamatkan Garuda. Tiko menyatakan hal ini akan membuat kepemilikan saham eksisting akan terdilusi. “Sehingga ini akan menjadi dampaknya. Nanti tergantung siapa yang mempunyai utang (kredit) terbesar, maka dia akan menjadi pemilik saham terbesar. Bila kesepakatannya seperti itu,” papar Tiko. Sebenarnya, Tiko menegaskan jika BUMN akan menyelamatkan Garuda Indonesia dengan pertimbangan GIAA memiliki market domestik yang potensial. Namun, akibat kesalahan pengurusan manajemen keuangan di masa lalu, berupa jumlah sewa pesawat terlalu mahal, kini kinerja GIAA terpuruk di masa pandemi. Maskapai pelat merah ini tercatat memiliki utang yang jatuh tempo per Mei 2021 sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar dari Rp 140 triliun total utangnya. Sebagai utang itu merupakan pinjaman ke pihak perbankan. Berdasarkan laporan keuangan Garuda per September 2020, pinjaman jangka pendeknya ke perbankan mencapai US$ US$ 754,3 juta. Sedangkan pinjaman jangka panjang tercatat sebesar US$ 260,95 juta dimana US$ 92,6 juta diantaranya jatuh tempo dalam waktu setahun.
Pinjaman jangka pendek itu berasal sejumlah bank mengacu pada data September 2020. Di antaranya berasal dari PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Panin, ICBC, Bank of China Limited, Bank CTBC Bank KEB Hana Indonesia, HSBC dan BCA. Sedangkan pinjaman jangka panjang berasal dari BRI, BNI, Indonesia Infrastructure Finance (IIF), Bank Maybank Indonesia, dan BCA. Berdasarkan laporan keuangan Garuda Indonesia, pinjaman jangka pendek ke BNI mencapai US$ 148,9 juta dimana utang Garuda sebesar US$ 79,71 juta jatuh tempo pada 19 April 2021 dan US$ 13 juta jatuh tempo pada 31 Maret 2021. Lalu anak usahanya Garuda Maintenance Facility Aero (GMFA) memiliki pinjaman US$ 49,2 juta dan Aerowisata Catering (ACS) US$ 6,2 juta. Adapun utang jangka panjangnya mencapai US$ 107,1 juta dimana US$ 9,67 jatuh tempo pada 28 April 2021.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi