KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan merevisi peraturan tentang pembelian kembali (
buyback) saham. Rancangan Peraturan (RPOJK) telah disusun berdasarkan evaluasi atas praktik
buyback serta pengalihan saham hasil
buyback oleh perusahaan terbuka di Indonesia. OJK menilai perlu penyempurnaan dari regulasi yang ada saat ini, yakni POJK Nomor 30/POJK.04/2017. Merujuk RPOJK yang terbit pada 24 Januari 2023, OJK menyoroti sejumlah kendala pada harga
buyback, harga pengalihan kembali saham hasil
buyback, keterbukaan informasi, dan jangka waktu pengalihan kembali. Beberapa usulan revisi antara lain tertuang pada Pasal 8. Dalam regulasi saat ini, pelaksanaan
buyback wajib diselesaikan paling lama 18 bulan setelah tanggal persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan pada RPOJK, pelaksanaan wajib diselesaikan paling lama 12 bulan setelah tanggal RUPS.
Pada bagian pengalihan saham hasil
buyback, ada sejumlah aturan yang direvisi. Antara lain mengenai cara pengalihan. Pasal 19 RPOJK memuat tujuh cara pengalihan saham hasil
buyback. Sedangkan pada aturan yang ada saat ini, cara pengalihan saham hasil
buyback termuat pada Pasal 17. Hanya lima cara yang diatur dalam beleid tersebut.
Baca Juga: Delta Dunia Makmur (DOID) akan Perpanjang Periode Buyback Saham hingga 24 April 2023 Tambahan dalam RPOJK, saham hasil pembelian kembali dapat dialihkan dengan cara pelaksanaan pembayaran/penyelesaian atas suatu transaksi tertentu. Bisa juga dialihkan dengan cara distribusi kepada pemegang saham secara proporsional. CEO Edvisor.id Praska Putrantyo melihat
buyback saham menjadi aksi korporasi yang cukup ramai dilakukan emiten beberapa waktu belakangan ini. Aksi itu terjadi di tengah kondisi harga saham yang cenderung melemah dari posisi tertingginya pada tahun 2022 lalu. Praska cenderung memandang aksi
buyback ini berpotensi memberikan dampak positif kepada investor. "Terlebih saat ini sejumlah emiten yang melakukan
buyback sedang mencetak perbaikan kinerja serta memiliki prospek bisnis yang baik ," kata Praska kepada Kontan.co.id, Minggu (5/2). Oleh sebab itu, Praska menilai revisi aturan mengenai
buyback saham belum terlalu mendesak. Apalagi kondisi fluktuasi pasar saham diperkirakan cenderung stabil, mengingat kekhawatiran terhadap resesi yang sudah mereda. Pengamat Pasar Modal, Fendi Susiyanto, turut menyoroti dampak positif dari aksi
buyback. Dengan adanya pembeli pasti, saham bisa menjadi lebih likuid.
Buyback juga menjadi sinyal kuat terhadap prospek perusahaan tersebut.
Baca Juga: Buyback 7,28% Saham Dalam Tempo Singkat, Saham Produsen Nikel IFSH Tak Kemana-mana "Artinya, di level perusahaan juga percaya diri untuk membeli sahamnya sendiri. Kinerja ke depan optimis akan bagus, dan perusahaan sedang ada kelebihan
cash flow," imbuh Fendi. Catatan Fendi, pelaku pasar perlu cermat karena aksi
buyback juga bisa menjadi sinyal perusahaan akan melakukan aksi korporasi lanjutan, seperti merger dan akuisisi. Dalam hal ini, Fendi menekankan perlunya keterbukaan motif perusahaan dalam menggelar
buyback. Fendi menekankan, nantinya aturan baru perlu lebih memastikan agar persentase lembar saham yang dimiliki oleh publik atau porsi
floating share tetap bisa menjaga likuiditas di pasar. "Jadi jangan disedot terlalu besar sampai kering.
Floating perlu dijaga sehingga pasca
buyback saham tetap likuid," jelasnya. Faktor lain yang dinilai penting adalah mekanisme penentuan harga. Menurut Fendi, penggunaan rata-rata harga 90 hari perdagangan bisa menggambarkan kondisi harga yang lebih wajar.
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro punya pandangan serupa. Nico turut menyoroti usulan pembentukan harga dengan memperhatikan rata-rata harga penutupan perdagangan harianĀ selama 90 hari sebelum tanggal
buyback. Rancangan ini dinilai lebih relevan dibandingkan harga penawaran
buyback yang bisa lebih rendah atau sama dengan harga transaksi pada satu hari sebelumnya. Buyback Saham Delisting Nico menilai penguatan aturan di pasar modal perlu dilakukan secara berkelanjutan, termasuk untuk
buyback saham. Tujuannya agar regulasi bisa lebih relevan dan menyesuaikan kebutuhan terkini dari sisi perlindungan investor maupun kepentingan emiten. Dari sisi regulasi, sudah ada perlindungan investor dalam aksi
buyback saham, termasuk pada emiten yang
delisting dari bursa. Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu dilihat kembali motif dan kemampuan emiten yang akan
delisting. Bagi emiten yang
delisting secara sukarela (
voluntary delisting), kemampuan keuangan emiten untuk melakukan
buyback relatif aman karena sudah dipersiapkan. Tapi realisasinya akan sulit bagi emiten yang
delisting secara terpaksa (
forced delisting).
Baca Juga: Menimbang Prospek Emiten yang Sedang Marak Gelar Buyback Saham Praska punya catatan serupa. Meski aturan mengenai
buyback saham
delisting bisa menjaga kepentingan investor, tapi hal ini menjadi tantangan serius. Terutama untuk emiten yang
forced delisting. Sebab, emiten
forced delisting pada umumnya sedang mengalami masalah finansial. Apalagi untuk emiten yang ambruk saat pandemi dan tidak bisa melakukan pemulihan kinerja bisnis secara cepat.
Menurut Praska, perlu penyusunan regulasi yang
win-win bagi kepentingan investor dan emiten terkait
buyback pada saham
delisting. Misalnya saja dengan klausul pembayaran secara bertahap. "Perlu ada aturan khusus yang mengatur mekanisme pelaksanaannya. Terutama pada emiten yang terkena
delisting paksa dan kondisi keuangan yang tidak baik," tandas Praska. OJK memang sedang menjaring tanggapan masyarakat dan pelaku industri jasa keuangan terhadap draft RPOJK yang telah diterbitkan. Tahapan untuk menghimpun masukan pada regulasi
buyback saham ini digelar OJK mulai 25 Januari 2023 sampai dengan 21 April 2023. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari