KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah konglomerasi keuangan di Indonesia bisa dipastikan bakal bertambah. Ini sejalan dengan rancangan regulasi baru yang tengah disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait konglomerasi keuangan. Dalam salah satu poin rancangan beleid tersebut, OJK menambah kriteria baru terkait Konglomerasi Keuangan. Di mana, kelompok atau grup yang memiliki aset minimal Rp 20 triliun bisa masuk dalam konglomerasi keuangan dengan minimal memiliki dua perusahaan di sektor jasa keuangan. Poin tersebut tentu memperbaharui kriteria sebelumnya yang sudah tertuang dalam POJK 45 Tahun 2020. Dalam aturan lama, grup yang masuk dalam golongan konglomerasi keuangan hanyalah yang asetnya lebih dari Rp 100 triliun.
Tak hanya itu, OJK tampaknya juga menambahkan beberapa aturan detail yang mengatur dalam rancangan aturan barunya ini. Terlebih, peraturan detail terkait Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK) yang bertugas mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
Baca Juga: Emiten Konglomerasi Berlomba Menggadang PLTB, dari BREN, MEDC, ADRO, Hingga Bakrie Kategori PIKK pun terbagi menjadi dua, antara lain PIKK Operasional dan Non Operasional. Letak perbedaan keduanya adalah PIKK Operasional itu menjalankan bisnis jasa keuangan sementara yang Non Operasional tidak bergerak di bisnis jasa keuangan. Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengamini bahwa perubahan dari batasan konglomerasi membuat semakin banyak konglomerasi keuangan di Indonesia. “Semakin banyak yang tercakup dalam konglomerasi keuangan maka pengawasan dari OJK akan semakin ketat,” ujar Huda, Minggu (12/5). Ia melihat hal tersebut akan berdampak positif pada proses mitigasi risiko terkait adanya dampak sistemik. Sebab, pada kriteria yang lama, banyak entitas bisnis keuangan yang tidak tergabung dalam satu konglomerasi. “Padahal ada bahaya sistemik yang terjadi ketika entitas tersebut mengalami goncangan,” ujarnya. Di sisi lain, Huda melihat kompetisi persaingan usaha pun akan lebih efisien dengan adanya regulasi baru ini. Sebab, konsolidasi entitas dinilai akan lebih sulit jika mengacu bahwa semakin banyak konglomerasi keuangan di tanah air.
Baca Juga: Nobu Bank akan Diakuisisi Hanwha Life, Apa Kabar Rencana Merger dengan MNC Bank? Sependapat, Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Budi Frensidy melihat lewat aturan tersebut, OJK ingin lebih meningkatkan fungsi pengawasannya Sebab, ada kemungkinan banyak yang kapitalisasinya di bawah Rp 100 triliun dapat berdampak besar terhadap pasar dan masyarakat. Ia pun berharap dengan adanya beleid baru tersebut bakal berdampak pada turunnya risiko akibat aksi, kebijakan, dan salah kelola satu korporasi terhadap pasar. Alasannya, sudah diantisipasi dan mitigasi sebelumnya. “Yang asetnya antara Rp 20 triliun sampai Rp 100 triliun, saya pikir lebih banyak daripada yang di atas Rp 100 triliun, contohnya Saratoga, Manulife, Schroders, BNP Paribas bisa masuk,” ujarnya.
Baca Juga: Ada Raksasa Keuangan Korea Selatan, di Balik Transformasi KB Bank Sementara itu, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengusulkan ada poin-poin aturan yang juga mengatur konglomerasi keuangan yang saham perusahaan induknya mayoritas dipegang oleh investor asing. Ambil contoh, PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) yang mayoritas sahamnya dipegang MUFG Bank sebanyak 92,47% dari total saham. Menurut Amin, perlu ada aturan tambahan yang lebih ketat bagi konglomerasi semacam itu. “Aturan tambahannya misal mulai dari kepemilikan, pengurus, tata kelola dan lainnya,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati