OJK tetap berkoordinasi dengan BI & LPS



JAKARTA. Draf revisi Undang-Undang (UU) Perbankan masih belum mampu menjawab masalah koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) dalam menjalankan peran BI sebagai lender of the last resort. Masalah yang belum terjawab adalah, siapa yang harus bertanggung jawab jika muncul moral hazard penyelamatan bank bermasalah?

Dalam beleid anyar ini, BI hanya bertindak sebagai kasir yang memberikan bantuan pada bank tertentu yang kesulitan likuiditas atau kondisi kesehatan semakin memburuk, atas rekomendasi OJK.

Masalahnya, bagaimana BI tahu bahwa bank bermasalah tersebut akan mengganggu sistem keuangan dan dana yang digelontorkan tepat sesuai kebutuhan. Padahal, BI tidak ikut mengawasi perbankan.


Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom Samuel Securities, mengatakan pangkal masalah ini berasal dari akurasi dan kecepatan data untuk pengambilan keputusan. Maklum, saat OJK beroperasi penuh, server data perbankan akan pindah seluruhnya dari BI ke OJK. "Jika server ada di OJK, akan ada time leg informasi yang diterima BI. Padahal dalam kondisi kritis butuhkan informasi dan data yang real time," kata Lana, Selasa (17/7). Ia mengusulkan agar BI, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berembuk menyusun kriteria bank yang harus diselamatkan BI. Pengawasan kriteria ini akan dijalankan OJK.

Dengan adanya kriteria ini, BI tidak perlu ragu lagi untuk menyuntikkan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan fasilitas lain untuk menyelamatkan bank karena frame pengambilan keputusan sudah sama. BI tidak perlu lagi mengaudit sebelum menyuntikkan dana pada bank sakit. Sebab, perlu pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dalam kondisi kritis. "Bila BI melakukan audit terlebih dahulu, bisa saja kebutuhan dananya akan meningkat atau bahkan banknya menjadi kolaps," tambah Lana.

Kepala Ekonom LPS, Mochammad Doddy Arifianto, mengatakan BI dan OJK hanya perlu meningkatkan pertukaran informasi ketika pada masa kritis untuk mengatasi masalah ini. BI tidak perlu ragu pada referensi dari OJK untuk menyuntikkan dana, sebab OJK adalah lembaga yang paling tahu kondisi perbankan. "Bila nantinya terjadi moral hazard yang bertanggung jawab harusnya yang memberikan referensi," ujarnya.

Doddy menambahkan, pembagian tugas yang ada dalam revisi UU Perbankan sudah jelas dan harus menjalankan tugas dengan baik, yakni OJK sebagai pemberi referensi dan BI sebagai eksekutor. Bila semua pihak ikut menilai, sistem bisa macet. "Untuk memastikan jumlah dana yang harus disuntikkan ada baiknya BI membuat matrik besaran pinjaman bagi baik sakit sesuai target moneter dan disosialisasikan kepada semua pihak," kata Doddy.

Ia menambahkan, ada baiknya OJK mengundang pihak swasta seperti Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) untuk mencari solusi, sebelum menyerahkan bank sakit kepada BI. Jadi penyelamatan BI menjadi benar-benar opsi terakhir. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: