KONTAN.CO.ID - Tahun 2020 menorehkan banyak catatan kelabu per-
startup-an dunia, termasuk di Indonesia. Stoqo,
startup B2B pemasok sembako online, memutuskan istirahat sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kabarnya, angka penjualannya merosot tajam. Padahal, di 2019, penjualan Stoqo naik tujuh kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Setelah Stoqo, Airy juga pamit dari dunia bisnis tanah air. Padahal, selain dikenal tidak hobi membakar uang, Airy termasuk rajin berinovasi. Meski karakteristik e-commerce keduanya berbeda, kebijakan
social dan
physical distancing membuat banyak
end-user produk Stoqo dan Airy melakukan keputusan transaksional yang sama, menunda atau membatalkan proses transaksinya. Saat itu Airy menduduki peringkat 442 startupranking.com. Peringkat mengindikasikan daya tahan? Tidak juga. Traveloka,
startup nomor dua Indonesia versi startupranking.com juga bergerak di sektor pendukung layanan transportasi dan penginapan mengalami lonjakan pengajuan pembatalan dan penjadwalan ulang. Berat mengatakan, kondisi aliran kas sang
unicorn itu sampai hari ini aman-aman saja.
Ada yang rugi, ada yang untung. Akibat kebijakan jaga jarak, bisnis yang menyangkut kebutuhan konsumen saat
work frome home (WFH) dan minim mobilitas di luar rumah diperkirakan meraup untung besar. Benarkah demikian? Per 30 April 2020, perusahaan penyedia layanan
video streaming HOOQ dari Singapura secara resmi tidak beroperasi lagi di Indonesia setelah lima tahun menjalankan bisnisnya. Melonjaknya aktivitas WFH ternyata tidak serta merta menaikkan penjualan produk
startup yang berdiri tahun 2015 ini. Padahal, ada nama besar Warner Bros Entertainment dan Sony Pictures di baliknya. Netflix,
startup senior kelahiran tahun 1997 asal Amerika Serikat dengan konten-konten originalnya menghabisi daya tempur HOOQ. Tahun 2020, HOOQ menduduki peringkat 3.826 dunia dalam startupranking.com. Sedang Netflix di peringkat 12 dunia. Bagaimana dengan OneWeb, perusahaan penyedia jasa internet asal Inggris yang dibangun oleh Greg Wyler untuk mewujudkan internet murah dan berkecepatan tinggi dari luar angkasa? Oneweb akhirnya angkat bendera putih pada Maret tahun lalu dan menyebut Covid-19 sebagai biang keladinya. Di atas kertas, prospek bisnis Oneweb bisa jadi sangat kemilau. Realisasinya? Covid-19 mungkin lebih berbahaya bagi manusia berusia lanjut dibandingkan dengan manusia muda. Tapi, dalam konteks bisnis, ternyata korban Covid-19 tidak pandang usia. Persoalannya, sebagai bayi ekonomi yang kreatif berteknologi,
startup terlanjur dicitrakan butuh banyak pasokan energi dari orangtua angkat alias investor. Nasib berkata lain, pandemi membuat
startup rawan mati merana. Para investor pusing mencari tambahan energi bagi dirinya sendiri saat pandemi. Sebut saja SoftBank, salah satu orangtua
startup terkuat di dunia yang sempat mencatat kerugian sebesar US$ 17,7 miliar. Saat pandemi virus korona usai, mungkin saja sang orangtua kembali merawat si bayi, tapi bisa juga pindah ke lain hati. SoftBank yang berhasil
rebound di kuartal April-Juni 2020 ternyata malah berencana berinvestasi di perusahaan teknologi yang mapan untuk memastikan stabilitas bisnisnya. Kejam? Tidak, itulah realitas bisnis. Ketidakpastian lingkungan adalah mitra tandem yang kuat bagi berbagai virus bisnis sejak dulu. Berbagi perusahaan dibabatnya tanpa kenal sektor usaha dan umur. Tidak ada obat tunggal yang sangat manjur untuk menahan serangan seluruh jenis virus dalam situasi bisnis seperti sekarang ini. Tidak ada
panacea bagi seluruh masalah yang dihadapi sebuah
startup. Apalagi, untuk semua startup! Ada lagi cerita Rokid,
startup asal China, berdiri sejak 2014, terus berinovasi dengan mengembangkan kacamata berteknologi
augmented reality (AR). Salah satunya kacamata untuk mengetahui suhu badan orang di sekitar pemakai. Kacamata ini efektif membantu
physical distancing. Besar kemungkinan, fitur itu akan ramai-ramai dicopas produsen jam digital,
smartphone, mobil, dan lainnya. Masalah berikutnya, kalau pandemi Covid-19 usai, apakah kacamata dan produk-produk tersebut masih berfungsi? Pertanyaan serupa perlu diantisipasi
startup-startupdi tanah air yang mendadak berniat menyisipkan ide sosial untuk menambah
product-market fitness mereka, seperti membuat
sub-marketplace khusus
hand sanitizer dan disinfektan, alat pelindung diri (APD), serta produk lainnya. Unik tapi rawan berumur sangat pendek. Bukan karena pandemi yang segera berakhir, tapi lantaran perilaku masyarakat kita yang cenderung lambat beradaptasi dengan kenormalan baru, bahkan belakangan makin tidak peduli. Pandemi membuktikan disruptor sejati bukan teknologi pintar dan konektivitas internet, melainkan sosok makhluk hidup sangat sederhana yang tak tampak mata bahkan lewat kacamata Rokid.
Oksigen dan nutrisi Celakanya, akhir pandemi tidak dapat diprediksi,
startup butuh vitamin dan nutrisi untuk tetap hidup. Pandemi sukses mendudukkan kesehatan dan keselamatan manusia jauh lebih tinggi dari faktor kenyamanan, fungsi-fungsi sekunder apalagi estetika, dalam berbagai sektor kehidupan manusia selama 10 bulan terakhir. Beberapa bidang bisnis tua yang semula terpinggirkan sejak kehadiran industri 4.0 disinyalir kembali menemukan ruangnya saat pandemi, pertanian salah satunya. Maka,
startup perlu hati-hati memaknai jargon kolaborasi yang terkesan meniadakan kompetisi atau jargon-jargon digital lain yang demikian
addictive. Teknologi dan ide bisnis telah menciptakan inovasi-inovasi yang disruptif, tapi belum cukup kuat mengalahkan ketangguhan prinsip-prinsip tata kelola bisnis yang belakangan dianggap primitif. Tidak jarang, energi habis untuk membahas bentuk botol kecap yang baru padahal isinya kecap yang sama. Tanpa disadari,
startup berinovasi secara tidak produktif karena terjebak dalam
product death cycle (David J. Bland, 2014).
Startup lupa membuat produk yang benar-benar ingin dibeli konsumen, bukan hanya dibutuhkan. Padahal, produk yang tepat adalah oksigen bagi pernafasan
startup. Setelah bernafas,
startup harus mencari sendiri nutrisi yang dibutuhkan. Caranya? Berjualan, memastikan produknya laku, memperoleh pendapatan, dan secara bertahap meraih untung (
revenue-based financing). Modal dan pendapatan yang dimiliki diberdayakan secara efisien. Orientasinya pada produktivitas dan peningkatan daya saing, bukan mereduksi biaya semata. Menghilangkan biaya proses bisnis yang tidak bernilai tambah sangat berbeda dengan menghemat biaya operasi.
Bersikeras dapat suntikan nutrisi dari luar? Tidak masalah. Tapi ingat, bayi ekonomi cerdas yang doyan disuapi sudah tidak menarik lagi bagi investor. Mereka lebih tertarik mengadopsi bayi ekonomi yang pintar mencari uang dan menjaga kesehatan saat luka lingkungan bisnis sedang meradang. Penulis : Tigor Tambunan Dosen Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti