Data luas lahan perkebunan kopi rakyat, pemerintah dan swasta masih sekitar 1,2 juta hektare dalam sepuluh tahun terakhir. Upaya memperluas areal tanam kopi harus digenjot. Produksi kopi nasional juga masih bergelut di angka 600.000 ton pertahun. (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015–2017). Padahal konsumsi kopi pada tahun 2016 berkisar 250.000 ton. Hingga tahun 2021 bisa mencapai 700.000 ton dengan konsumsi bisa naik hingga 370.000 ton. Perkembangan di hulu juga diikuti di hilir. Tampak dari ledakan kedai kopi mencapai 1.083 kedai (Euromonitor) bahkan bisa saja kini angkanya lebih dari itu. Ini disebabkan wabah ragam kedai kopi. Mulai konsep ritel modern, kekinian hingga kopi ontel. Meski begitu, konsumsi kopi Indonesia masih berkisar 1,5 kilogram (kg) per kapita. Kalah jauh dari maniak kopi seperti Belanda, Swedia atau Finlandia yang berkisar 8 kg–12 kg. Dulu kolonialisme datang karena kopi, kini surga hitam ini harus jadi tuan di negeri sendiri. Bahkan menjajah cangkir manca negara lewat komoditas ekspor. Meruyaknya kedai kopi bukan hanya hilirisasi biji kopi menjadi minuman. Secara psikososial, kedai kopi tanpa disengaja mewadahi kebutuhan atas teritori. Dalam konteks kedai kopi, wilayah itu adalah ruang layanan untuk ngopi. Termasuk sofa, meja, kursi, sudut, indoor-outdoor, lesehan, wifi, sampai soal sarana colokan listrik untuk para digital nomads. Tujuan ngopi bukan sekedar menyesap belaka, tetapi juga dorongan memiliki teritori untuk menegaskan identitas, rasa aman dan stimuli. Ini semua bermuara pada citra diri yang diperluas (extended self) yang semakin niscaya pada manusia modern.
Okupansi ruang dan penjualan kedai kopi
Data luas lahan perkebunan kopi rakyat, pemerintah dan swasta masih sekitar 1,2 juta hektare dalam sepuluh tahun terakhir. Upaya memperluas areal tanam kopi harus digenjot. Produksi kopi nasional juga masih bergelut di angka 600.000 ton pertahun. (Statistik Perkebunan Indonesia, 2015–2017). Padahal konsumsi kopi pada tahun 2016 berkisar 250.000 ton. Hingga tahun 2021 bisa mencapai 700.000 ton dengan konsumsi bisa naik hingga 370.000 ton. Perkembangan di hulu juga diikuti di hilir. Tampak dari ledakan kedai kopi mencapai 1.083 kedai (Euromonitor) bahkan bisa saja kini angkanya lebih dari itu. Ini disebabkan wabah ragam kedai kopi. Mulai konsep ritel modern, kekinian hingga kopi ontel. Meski begitu, konsumsi kopi Indonesia masih berkisar 1,5 kilogram (kg) per kapita. Kalah jauh dari maniak kopi seperti Belanda, Swedia atau Finlandia yang berkisar 8 kg–12 kg. Dulu kolonialisme datang karena kopi, kini surga hitam ini harus jadi tuan di negeri sendiri. Bahkan menjajah cangkir manca negara lewat komoditas ekspor. Meruyaknya kedai kopi bukan hanya hilirisasi biji kopi menjadi minuman. Secara psikososial, kedai kopi tanpa disengaja mewadahi kebutuhan atas teritori. Dalam konteks kedai kopi, wilayah itu adalah ruang layanan untuk ngopi. Termasuk sofa, meja, kursi, sudut, indoor-outdoor, lesehan, wifi, sampai soal sarana colokan listrik untuk para digital nomads. Tujuan ngopi bukan sekedar menyesap belaka, tetapi juga dorongan memiliki teritori untuk menegaskan identitas, rasa aman dan stimuli. Ini semua bermuara pada citra diri yang diperluas (extended self) yang semakin niscaya pada manusia modern.