KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ombudsman RI menilai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor masih belum memberikan implikasi yang signifikan pada ketersediaan minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) di lapangan. Oleh karenanya, Ombudsman RI memberikan masukan kepada pemerintah terkait permasalahan minyak goreng yang belum usai. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika meminta pemerintah segera memastikan semua produsen minyak goreng mendapatkan crude palm oil (CPO) dengan harga Domestic Price Obligation (DPO).
“Tidak semua produsen minyak goreng bisa mendapatkan harga baku sesuai DPO yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah harus mengawinkan semua produsen minyak goreng ini dengan semua produsen CPO yang punya kewajiban menyisihkan 20% volume ekspor,” tegas Yeka dalam siaran pers, Minggu (27/2). Yeka menyampaikan dalam tahap pertama ini, semua produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan produsen CPO agar dipastikan terlebih dahulu mendapatkan pasokan CPO sesuai dengan harga DPO. Jenis minyak goreng yang perlu dipastikan ketersediaannya adalah minyak goreng jenis curah yang banyak dikonsumsi oleh usaha kecil dan mikro serta rumah tangga berpendapatan rendah.
Baca Juga: Mendag: Pasokan dan Distribusi Minyak Goreng di Jambi Sangat Baik Ombudsman menegaskan, saat ini pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis jangka pendek agar minyak goreng HET dapat segera dinikmati masyarakat secara merata. Mengingat sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Ombudsman juga akan terus melakukan pemantauan harga minyak goreng hingga stabil sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah. Selanjutnya, Ombudsman akan menganalisa secara lebih mendalam untuk jangka menengah, apa saja regulasi yang perlu ditata. “Ombudsman akan mengevaluasi apakah kebijakan terakhir ini (Permendag Nomor 8/2022) adalah kebijakan yang tepat untuk jangka menengah dan panjang. Jangan-jangan di masa yang akan datang kebijakan DMO DPO ini malah menjadi
backfire untuk Indonesia. Karena kalau volume ekspor CPO turun, bisa menyebabkan harga minyak nabati dunia naik,” ujar Yeka. Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman mengatakan, soal kelangkaan minyak goreng sesuai HET, menurut Eddy terjadi lantaran masa penyesuaian pasar terhadap kebijakan intervensi pemerintah saat ini. “Saat ini sedang masa transisi dimana produsen mencari bahan baku yang sesuai DPO untuk memproduksi minyak goreng HET,” ujarnya. Eddy mengatakan, pemerintah perlu mempertemukan produsen minyak goreng dengan produsen CPO sesuai harga DPO. Selain itu, menurutnya, diperlukan penyiapan rantai pasok minyak goreng HET. Misalnya dengan melibatkan Perum Bulog dalam hal distribusi minyak goreng HET hingga masyarakat bawah. Ia menambahkan bahwa, jumlah produksi CPO Indonesia pada tahun 2021 mencapai 46.88 juta metrik ton. Dari jumlah tersebut untuk kepentingan domestik sebanyak 18,42 juta metrik ton. Dengan rincian untuk bahan baku minyak goreng 8,95 juta metrik ton dan biodiesel 7,34 juta metrik ton untuk keperluan domestik. Sisanya, CPO yang diekspor sebanyak 34,234 juta metrik ton.
Baca Juga: Harga Beberapa Komoditas Pangan Ini Mulai Merangkak Naik Meskipun demikian, Eddy mengungkapkan bahwa volume ekspor CPO mengalami penurunan pada bulan Januari dan Februari 2022.
“Volume ekspor CPO Januari hingga 24 Februari ini hanya 4,04 juta metrik ton dengan pendapatan Rp 6,22 triliun,” paparnya. Sebagai informasi, Permendag Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor memberlakukan DMO dan DPO pada
crude palm oil, refined, bleached, a
nd deodorized palm olein dan
used cooking oil. Di mana eksportir diwajibkan memasok 20% dari volume ekspor CPO dan produk turunan untuk pasar domestik. Sedangkan harga DPO untuk CPO Rp 9.300/Kg dan untuk olein Rp 10.300/Kg. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi