KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan, penerapan sistem
work from home (WFH) yang dilakukan instansi pemerintah pusat dan daerah di wilayah DKI Jakarta merupakan solusi singkat. Namun, WFH dinilai tidak efektif untuk menanggulangi polusi udara di wilayah Jakarta. Menurutnya, jika tidak dibarengi langkah penanganan secara sistemik, maka WFH tidak akan memberikan dampak yang signifikan dalam penanganan masalah polusi udara di Jabodetabek. ”WFH ini kan satu solusi singkat terhadap polusi udara di DKI Jakarta, tapi dinilai tidak efektif. Hal itu perlu dilakukan juga penanganan di sektor hulu dan hilir yang memberikan efek dampak panjang terhadap penanganan polusi,” ujar Hery dalam keterangan tertulis, Jumat (25/8).
Baca Juga: Kemenag Terapkan WFH untuk ASN di Wilayah DKI Jakarta Saat KTT ASEAN Hery mengatakan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sektor transportasi sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta. Kemudian diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%. Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disebutkan disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36% atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76% 5.252 ton per tahun dan industri 1,25% mencapai 3.738 ton per tahun. Hery menyampaikan, perlunya kebijakan pembatasan kuota BBM bersubsidi jenis pertalite dan solar. Karena jenis ini menyumbang emisi karbon monoksida yang cukup tinggi. Sehingga masyarakat terutama ASN menjadi teladan untuk menggunakan BBM non subsidi maupun kendaraan listrik. Langkah Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono yang menghimbau para pegawai eselon IV di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) menggunakan sepeda motor listrik, patut didukung untuk menekan polusi udara efek dari emisi kendaraan berbasis BBM fosil. Selain itu terdapat Inpres No 7/2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (
Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sayangnya, Inpres tersebut belum ditindaklanjuti secara masif di hampir semua instansi pemerintah pusat dan daerah, terutama di wilayah Jakarta.
Baca Juga: Polusi Udara Memburuk, Begini Tips Menjaga Kualitas Udara di Rumah Maka Ia menilai, Pemerintah perlu menuntaskan regulasi teknis dan anggaran untuk implementasi kendaraan listrik, utamanya semua level instansi pemerintah. Kemudian, di ranah publik perlu ada kebijakan yang mendorong terciptanya ekosistem kendaraan listrik dengan memberikan insentif bagi pengguna kendaraan listrik, selain adanya pembebasan sistem ganjil genap. Maka, perlu literasi ke masyarakat terkait penggunaan kendaraan listrik agar masif. "Memiliki kendaraan listrik tidak harus membeli, pemerintah perlu menyusun regulasi konversi mesin dari BBM ke mesin listrik termasuk kemudahan pengurusan ganti mesin dalam STNK dan BPKB kendaraan,” ujar Hery. Hery juga meminta Pemerintah menambah jumlah transportasi massal yang menggunakan tenaga listrik. Sehingga tingkat polusi udara dapat diturunkan. Terkait Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, Hery mengatakan pemerintah harus menguatkan pengawasan di lapangan. Misalnya saja dengan mengawasi pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penerapan teknologi ramah lingkungan.
Baca Juga: BPJS Kesehatan Catat Kenaikan Klaim Penyakit ISPA, Ini Rinciannya ”Pengawasan AMDAL dan penerapan teknologi ramah lingkungan harus dilakukan secara holistik dan berkelanjutan, jangan tebang pilih,” tegas Hery. Ia mengungkapkan, Ombudsman RI akan melakukan tinjauan lapangan di sejumlah PLTU di sekitar Jabodetabek untuk memastikan apakah sudah sesuai dengan AMDAL. Selanjutnya, Ombudsman akan memberikan tindakan korektif kepada Pemerintah terkait penanganan polusi udara khususnya di wilayah Jabodetabek. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto