KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan lolosnya Undang Undang (UU) Cipta Kerja atawa omnibus law, diperkirakan akan terjadi pergeseran dalam industri menara. Pasalnya, dalam kluster telekomunikasi RUU Omnibus Law kan terdapat kebijakan berbagi infrastruktur. Analis Kresna Sekuritas Etta Rusdiana mengatakan, saat ini mulai terjadi pergeseran dalam dunia industri menara. Menurut dia, kini para pelaku justru tengah fokus untuk melakukan efisiensi biaya. Pengesahan omnibus law akan semakin mendukung upaya efisiensi tersebut. “Keluarnya omnibus law memberi kepastian untuk berbagi jaringan dan frekuensi di 5G. Pada akhirnya ini membuat operator tidak lagi kompetitif jika harus menanggung seluruh biaya capital expenditures (capex) non-core (tower) dan last mile fiber optic,” kata Etta kepada Kontan.co.id, Senin (26/10).
Etta menilai, kondisi tersebut membuat capex milik emiten menara yang ada bisa difokuskan untuk backbone fiber optic dan RAN network (terutama 5G). Baca Juga: Pendapatan dan laba bersih meningkat, Tower Bersama (TBIG) lampaui target penyewaan Sementara analis Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi justru memandang omnibus law memberi sentimen negatif. Memang, dia melihat investor asing bisa memberikan pendanaan mengingat valuasi emiten menara di Indonesia masih lebih atraktif dibandingkan emiten menara di Amerika dan Eropa. Namun, omnibus law bisa menyulitkan kenaikan tarif sewa untuk menara baru. Investor asing justru bisa saja menjadi kompetitor, dan dengan dukungan pendanaan yang lebih murah di luar negeri, maka mereka bisa saja memberikan diskon biaya sewa. Hal ini tentu akan membuat pendapatan sewa per menara baru sulit untuk naik. “Di sisi lain, di omnibus law juga dimandatkan untuk pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi pasif, termasuk menara, kepada operator telekomunikasi lain tanpa diskriminatif. Hal ini membuat operator yang memiliki banyak menara seperti Telkomsel menjadi saingan para emiten menara,” kata Yosua. Baca Juga: Ada sentimen omnibus law, ini rekomendasi saham emiten menara dari analis