Pemerintah terus bertahan tidak menaikkan harga BBM jenis premium dan solar, meskipun tren harga minyak mentah dunia terus meningkat. Padahal, sejak akhir kuartal II-2016 hingga saat ini harga minyak mentah dunia telah mengalami kenaikan signifikan. Pemerintah menyatakan tidak akan menaikkan harga BBM jenis premium dan solar hingga tahun 2019 untuk mendukung daya beli masyarakat. Namun, tidak seperti skema subsidi BBM yang pernah dilakukan, pemerintah kali ini hanya menetapkan harga jual BBM premium dan solar saja, tidak mengalokasikan anggaran subsidi untuk menutup kerugian yang mungkin timbul akibat kenaikan harga minyak dunia. Hal ini membuat APBN terlihat lebih baik karena anggaran masih tetap berfokus ke infrastruktur. Namun, pilihan kebijakan ini tetap tidak lepas dari risiko kenaikan harga minyak dunia.
Sebagai ilustrasi, akibat kebijakan ini adalah jika harga penetapan dari pemerintah di bawah harga keekonomian premium dan solar (setelah subsidi), Pertamina berpotensi menanggung kerugian karena menjual harga produk di bawah harga keekonomiannya. Selama tahun 2017, dengan asumsi konsumsi premium mencapai 12,51 juta kiloliter (KL) dan solar 14,33 juta KL, kami memperkirakan Pertamina telah menanggung kerugian dari segmen bisnis penjualan premium dan solar sebesar Rp 44,9 triliun karena menjual premium dan solar di bawah harga keekonomiannya. Saat ini, potensi kerugian kami perkirakan kembali terealisasi pada 2018 karena tidak dinaikkannya harga premium dan solar. Menurut perhitungan kami, harga jual premium pada kuartal I-2018 seharusnya Rp 8.859 per liter dan solar Rp 8.709 per liter yang berarti ada selisih kurang lebih Rp 2.400 per liter untuk premium dan Rp 3.550 per liter untuk solar. Ke depan, harga minyak dunia kami perkirakan masih di rentang US$ 65 – US$ 75 per barel, lebih tinggi dibanding harga di akhir 2017. Tentu, hal ini berpotensi menciptakan kerugian kembali di tahun 2018 bagi Pertamina. Pola kebijakan yang di ambil dengan tidak melakukan subsidi langsung melalui APBN memang memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran belanja ke hal yang lebih produktif seperti infrastruktur di APBN. Namun, membiarkan Pertamina menanggung rugi akibat harga premium dan solar yang dikontrol juga memberikan beberapa dampak negatif bagi pemerintah maupun Pertamina. Pertama, meskipun pemerintah tidak mengeluarkan anggaran subsidi di APBN, pemerintah berpotensi kehilangan pendapatan pajak. Setidaknya ada tiga komponen pajak yang terkena dampak, yakni pajak penghasilan dari badan usaha dan pajak pertambahan nilai dan pajak kendaraan bermotor yang terdapat dalam komponen harga premium dan solar. Kedua, pemerintah juga akan mengalami penurunan pendapatan dari dividen yang disetorkan Pertamina. Dalam beberapa tahun terakhir, Pertamina selalu menyetor dividen ke pemerintah sebagai pemegang saham sebesar 30%-35% dari total laba bersihnya. Ketiga, kinerja keuangan Pertamina tentu akan menurun. Hal ini berpotensi memperburuk penilaian kreditor dan investor surat utang Pertamina sehingga risk premium terhadap pinjaman yang diberikan ke Pertamina menjadi lebih tinggi. Padahal, Pertamina saat ini sangat membutuhkan investasi dengan tugas-tugasnya yang diberikan pemerintah seperti membangun kilang ataupun meningkatkan cadangan minyak Indonesia melalui kegiatan eksplorasi. Dalam jangka pendek, kebijakan pemberian subsidi terhadap harga BBM kemungkinan dapat dilakukan. Namun hal ini meningkatkan risiko pada APBN dan pemerintah karena tren harga minyak saat ini masih meningkat dan akan berdampak buruk pada kinerja Pertamina.
Selain itu, kebijakan ini tak tepat dilakukan jangka panjang karena kita akan kembali kepada kebijakan terdahulu yakni menyalurkan subsidi yang tak tepat sasaran. Pemilik kendaraan pribadi berpotensi beralih dari BBM non subsidi ke premium maupun solar subsidi karena disparitas harga yang tinggi. Perlu ada terobosan dari pemerintah agar subsidi BBM hanya disalurkan kepada angkutan umum dan angkutan logistik agar harga-harga bahan pokok tetap terjaga.•
Adjie Harisandi Analis Industri Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi