Ongkos moneter bengkak, neraca BI defisit Rp 22,4 T



JAKARTA. Terus membanjirnya ekses likuiditas di sistem keuangan yang harus dikelola Bank Indonesia (BI) diperkirakan bakal menekan neraca bank sentral tahun ini. Defisit neraca BI tahun 2010 diperkirakan bakal melampaui target yang sudah dipatok di awal tahun kemarin yakni sebesar Rp 22,4 triliun. Sumber KONTAN di bank sentral yang tahu persis mengenai pengelolaan moneter dan neraca BI menuturkan, BI sebenarnya ketar-ketir dengan terus membeludaknya ekses likuiditas di sistem keuangan ini. "Derasnya capital inflow akan menekan anggaran kebijakan BI tahun 2010 ini," ujarnya dalam obrolan dengan KONTAN, Selasa petang (12/10). Tekanan terhadap neraca bank sentral ini mengancam terjadinya pembengkakan nilai defisit anggaran BI. Dalam Anggaran Tahunan BI (ATBI) 2010 yang sudah disetujui oleh DPR, nilai defisit neraca tahun ini diperkirakan menembus angka Rp 22,4 triliun. Naik berlipat-lipat dari besar defisit neraca tahun 2009 yang hanya sekitar Rp 1 triliun. Jika ongkos moneter BI terus membengkak, besar kemungkinan target defisit Rp 22,4 triliun akan terlampaui. Penyumbang terbesar defisit neraca bank sentral adalah dari ongkos bunga Sertifikat BI (SBI) yang menjadi salah satu instrumen pengendali likuiditas. Sebagai gambaran, tahun lalu, total pengeluaran BI untuk membayar bunga instrumen moneter mulai dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Fasilitas SBI (FaSBI), juga Fine Tune Operation (FTO) mencapai Rp 22,2 triliun. Besarnya beban bunga terjadi seiring kian banyaknya outstanding instrumen moneter. Outstanding SBI di tahun 2008 masih Rp 78,84 triliun. Tahun 2009 sudah membengkak menjadi Rp 254,19 triliun. Sedangkan posisi terakhir outstanding SBI per 8 Oktober sudah mencapai Rp 251,78 triliun. Itu dari SBI saja, belum termasuk ekses likuiditas yang sudah disedot melalui FaSBI dan FTO. Sumber KONTAN tersebut menjelaskan, BI sebenarnya sudah mengusahakan beberapa kebijakan untuk mengelola ekses likuiditas ini tanpa membebani semakin membebani neraca. Caranya salah satunya ditempuh dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) bank menjadi 8%. Ini tentu langkah yang lebih murah ketimbang terus agresif menyedot ekses likuiditas dengan SBI. Lebih dari itu, ujar sumber ini, pada prinsipnya BI memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan ongkos pengelolaan moneter dengan biaya tak terhingga karena ini sudah menjadi amanat Undang-Undang. Namun, jika tekanan defisit neraca bank sentral terus membesar hal itu pada akhirnya akan mempengaruhi besar rasio modal BI. Seperti diketahui, sesuai aturan UU, jika rasio modal BI anjlok menjadi kurang dari 3% maka pemerintah terpaksa nomboki BI dengan anggaran negara alias APBN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Djumyati P.