JAKARTA. Turunnya harga minyak dunia hingga mencapai US$ 59 per barel membawa angin segar bagi produsen batubara. Maklum, sudah dua tahun ini produsen batubara tertatih mengalap rezeki dari tambang lantaran harga batubara lunglai. Sepanjang tahun 2014 semisal, rata-rata harga batubara acuan (HBA) hanya US$ 72,62 per ton, merosot 12,42% dibandingkan dengan rata-rata HBA tahun 2013 yang sebesar US$ 82,92 per ton. Direktur Utama PT Atlas Resources Tbk (ARII) Andre Abdi mengungkapkan, penurunan harga minyak dunia menimbulkan rasa optimistis bagi pengusaha pertambangan batubara. Perusahaan bisa berhemat ongkos operasional, sebab, sekitar 30% dari biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha pertambangan batubara untuk membeli bahan bakar minyak.
Dengan fokus penjualan batubara ke pasar domestik, khususnya ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), kata Andre, sebagian besar biaya bahan bakar ARII habis untuk pembelian solar truk pengangkut batubara dengan jarak tempuh rata-rata 130 kilometer (km) ke pembangkit PLN. Sebagai gambaran, tahun 2013, saat membuat rencana anggaran tahun 2014, ARII mengasumsikan harga solar US$ 1,2 per liter dengan kurs Rp 11.000 atau harga solar sebesar Rp 12.000 per liter. Dengan penurunan harga minyak dunia, harga solar industri juga mengalami penurunan. Ini pula yang membuat biaya angkut menurun. Bahkan, kata Andre, penurunan harga solar juga masih akan berlanjut di tahun depan yakni berada di kisaran Rp 7.000 per liter. Selain itu, penurunan biaya juga terjadi di biaya penambangan atau
cost per s
trip sebagai efek turunnya harga minyak. Saat ini,
cost per
strip batubara ARII di Hub Muba sebesar US$ 30 per metrik ton. Dari ongkos sebesar itu, kata Andre sekitar 25% merupakan biaya bahan bakar. Hitungan Andre, penurunan harga solar non subsidi bisa memangkas hingga 50% biaya transportasi. Alhasil, ini bisa mengurangi beban biaya penambangan. "Dengan begitu kami berharap industri batubara bisa mengalami pembalikan atau
turn around," tegas dia. Makanya, target tahun depan, Atlas Resources akan meningkatkan produksi batubaranya naik menjadi 4,3 juta ton. Angka ini naik dari target produksi 3 juta ton di tahun ini. Susah capai target Direktur PT ATPK Resources Tbk Albert Bangun menambahkan, penurunan harga minyak dunia memiliki dua dampak ke produsen batubara.
Pertama, penurunan harga minyak dunia bisa memicu penurunan harga batubara secara internasional. Akibatnya
sales atau penjualan perusahaan akan menurun.
Kedua, penurunan harga minyak dunia ini juga akan berdampak pada biaya atau
cost penambangan, namun untuk tahun 2014 ini, dampak penurunan harga minyak dunia pada biaya yang dikeluarkan belum terlihat dampaknya. Sebab harga BBM non subsidi belum ditetapkan untuk turun. "Mungkin saja nanti pada 2015 baru terlihat," tegas dia. Alhasil, saat ini ATPK belum melakukan analisa seberapa besar penurunan harga minyak dunia ini terhadap penurunan biaya penambangan yang mereka kelola.
Bob Kamandanu, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai, merosotnya harga jual minyak tentunya berimbas pada harga batubara yang sama-sama sebagai komoditas energi ikut menurun. Oleh karena itu, pihaknya pesimistis target produksi yang dipatok pemerintah pada tahun depan sekitar 455 juta ton hingga 460 juta ton bisa terealisasi.Pasalnya, akan banyak pengusaha batubara yang akan mengerem produksi akibat tekanan harga jual batubara yang diperkirakan masih rendah. "Kalau sekarang kami bisa mendapatkan margin US$ 3 hingga US$ 2 per ton, tapi kalau harga minyak turun, pasti harga batubara ikut turun. Jadi kami juga belum tahu sampai kapan bisa mempertahankan margin ini," kata Bob.Produsen batubara kini hanya bisa berharap permintaan batubara terus meningkat di tengah harga yang murah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia