JAKARTA. Kepala Kajian Energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, meminta pemerintah untuk menunda penerapan kebijakan open access pipa gas Alasannya, jika open access diterapkan, para trader gas akan sangat diuntungkan. Sebab, mereka tidak perlu membangun infrastruktur pipa untuk menyalurkan gas. “Padahal, dibutuhkan investasi yang besar untuk pembangunan infrastruktur gas tersebut,” kata Iwa kepada Kontan, Kamis (7/11).
Lagi pula, kata Iwa, kebijakan open access jelas merugikan keuangan negara. Sebab, akibat pemberlakuan open access, pertumbuhan infrastruktur gas akan berjalan lambat. Dampaknya, banyak gas bisa tidak tersalurkan. Pemerintah memang bisa menugaskan PGN untuk membangun infrastrukturnya. Namun, hal ini akan menguras keuangan negara. Padahal, keuntungan penyaluran pada tingkat tekanan rendah hampir tidak ada. Apalagi saat pembangunan pipa, belum ada kepastian jumlah volume penyaluran gas yang tetap kepada PGN. Lalu, siapa yang memikul kurangnya biaya penyaluran gas jika jaringan infrastruktur berjalan lambat? “Akan kembali ke PGN dan otomatis pemerintah juga,” imbuh Iwa. Selain negara, konsumen pun akan menanggung kerugian. Sebab, harga gas di konsumen pun akan meningkat untuk menutup beban biaya tambahan. Iwa memahami, praktik jual beli gas oleh Pertamina yang selalu melibatkan trader gas bisa saja dilakukan. Namun, seharusnya para trader juga punya keinginan untuk membangun infrastruktur. “Jangan hanya ingin menumpang pada infrastruktur yang ada, enak dong mereka tidak perlu investasi besar untuk penyalurannya,” cibir Iwa. Benar, Iwa mengakui, akibat praktik jual beli gas oleh Pertamina dan trader gas, tidak akan menimbulkan kerugian yang dialami oleh PGN. “Hanya saja, PGN harus terus membangun infrastruktur yang keuntungannya rendah, bahkan bisa pas-pasan. Dan ini harus ditutupi dengan subsidi pemerintah,” kata Iwa. Audit jual-beli gas Untuk itu, Iwa menyarankan, perlu adanya audit terhadap praktik jual beli gas. Ini, sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan, jika ada dugaan kerugian negara dari praktik itu. Pemerintah juga harus memperketat persyaratan terkait praktik jual beli gas terhadap para trader, jangan hanya akhirnya menjadi broker saja. Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Ucok Sky Khadafi menegaskan, rencana pemerintah mengkaji ulang kebijakan open access mengindikasikan adanya perubahan lagi terkait pelaksanaan open access. Pertama, kata Ucok, hal itu memperlihatkan bahwa pemerintah "plin plan" dalam menerapkan payung hukum. Hal ini akan berdampak kepada iklim investasi atau mengganggu investasi. “Investor akan menjadi sangat hati-hati, bahkan bisa mengurungkan niat menanamkan modalnya di sektor migas Indonesia karena payung hukumnya tidak konsisten,” kata Ucok kepada Kontan. Padahal, salah satu prinsip investasi adalah adanya payung hukum, dan implementasi konsisten dilaksanakan oleh pemerintah. Kedua, hal itu memperlihatkan bahwa peraturan menteri ESDM (Permen) Nomor19 tahun 2009 mengenai open access merupakan ‘pesanan’ pihak tertentu untuk "mengganggu" PGN. Seharusnya, kata Ucok, sebelum diterbitkan ke publik, sebuah peraturan menteri harus dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar di kemudian hari tidak ditarik kembali. Atau, sebelum mengeluarkan peraturan, kementerian ESDM harus melakukan FGD (Forum Group Diskusi) dengan mengundang semua stakeholder. Dengan begitu, kebijakan di sektor migas yang tertuang dalam Permen tersebut bisa mengakomodasi semua kepentingan pihak di sektor tersebut. Ucok menambahkan, jika kebijakan open access itu dipaksakan untuk diterapkan, maka dampaknya akan merugikan bisnis PGN dan menguntungkan PT Pertamina. Kerugian PGN muncul karena jaringan pipanya akan dipakai pihak lain atau Pertamina. Padahal, PGN sudah menanamkan investasi yang sudah menjadi aset tetap. Kompensasi penggunaan pipa Contohnya, pada proyek stasiun Jabung Gas Booster sebesar Rp 429,5 miliar dan perbaikan pipa bawah laut sebesar Rp 1,6 triliun. “Jadi, siapa yang akan membayar investasi pipa PGN bila dipakai pihak lain? Memang, nanti jaringan pipa PGN akan ada kompensasi dari Pertamina. Namun, belum jelas berapa rupiah kompensasi kepada PGN bila dipakai Pertamina atau trader lainnya,” tegas Ucok. Jika demikian, hal tersebut akan menimbulkan kerugian biaya investasi yang telah dikeluarkan PGN. Ke depan, ujung-ujungnya, hal itu bisa mengurangi keuntungan PGN. Bila itu terjadi, maka kontribusi PGN berupa dividen kepada penerimaan negara, juga akan berkurang. Ucok mencatat, pada tahun 2012, pendapatan usaha PGN mencapai Rp 25,1 triliun, dengan laba sebelum dipotong pajak sebesar Rp 11,1 triliun. Pada tahun tersebut, kontribusi PGN kepada negara mencapai Rp 1,70 triliun. Di sisi lain, pelaksanaan open access akan sangat menguntungkan Pertamina. Karena, tanpa melakukan investasi pipa, Pertamina bisa mengalirkan gas melalui pipa PGN. Dengan cara tersebut, Pertamina bisa menambah laba perusahaan, yang memang berujung pada kontribusi kepada penerimaan negara. Pada 2012, berdasarkan catatan Ucok, dividen Pertamina kepada penerimaan negara sebesar Rp7,25 triliun. Padahal, pendapatan usaha Pertamina tahun 2012 sebesar Rp 685,8 triliun, dan laba sebelum pajak sebesar Rp 46,4 triliun untuk tahun 2012. Ucok juga menyayangkan adanya praktik jual beli gas oleh Pertamina yang selalu melibatkan para trader gas. Hal itu memperlihatkan Pertamina sedang mendulang dukungan dan menekan PGN agar segera membuka open access. “Jadi, melibatkan trader gas hanya salah satu strategi Pertamina saja untuk memperjuangkan open access,” ungkap Ucok. Terkait kisruh penerapan open access tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta Pertamina dan PGN untuk duduk berdampingan menyelesaikan masalah itu.
"Saya akan beri mereka waktu dua minggu untuk menyelesaikan secara b to b (Bisnis to Bisnis), kalau tidak bisa menyelesaikan terpaksa akan saya panggil kedua manajemen BUMN tersebut dengan didampingi oleh tiga tenaga teknis," tutur Dahlan, Kamis (7/11). Menurutnya apabila cara dengan pemanggilan dirut Pertamina dan PGN masih belum dapat menyelesaikan perselisihan mereka, Dahlan akan menyiapkan dan mengambil langkah cadangan, yakni pipa gas itu menjadi anak usaha di bawah kedua BUMN tersebut. Karena, menurutnya, ada 11 lokasi jalur pipa milik PGN dan Pertamina yang bisa dijadikan anak usaha kedua BUMN tersebut. "Tetapi itu pilihan terakhir, kalau mereka tidak bisa juga menyelesaikan masalah," tegas Dahlan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan