BANDUNG. Chief Economist Bank Mandiri Mirza Adityaswara menilai, biaya operasi moneter yang semakin mahal bisa menggerus neraca Bank Indonesia (BI). Maklum, BI harus menanggung negative spread yang terjadi karena investasi BI yang dilakukan dalam dollar AS hanya memberikan return 0,25%. Padahal, BI harus memberikan bunga untuk dana yang tersimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) minimal sebesar 6,5%. Menurut Mirza, aliran dana asing yang deras mengalir ke dalam negeri membuat rupiah terus menguat. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Malaysia, Thailand, dan negara berkembang lain. Pasalnya di luar negeri pertumbuhan ekonominya melambat. Alhasil, dana-dana asing tersebut menempatkan investasinya di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya masih cukup tinggi. "Aliran dana asing ini membuat rupiah menguat terus. Nah, kalau rupiah terus menguat, ekspor terutama untuk sektor manufaktur yang akan terkena akibatnya," ujar Mirza kepada KONTAN, di sela-sela Media Training Bank Mandiri di Bandung, Kamis (14/10). Supaya rupiah tidak terlalu kuat, BI harus melakukan intervensi dengan membeli dollar AS. Ketika BI beli dollar AS, BI menempatkannya di obligasi pemerintah AS yang yieldnya hanya 2,5%. "Ketika beli dollar, BI mengeluarkan rupiah. Ini tentu bisa membuat rupiah di pasar banjir sehingga bisa menimbulkan inflasi. BI tidak mau itu. Makanya, rupiah harus ditarik dengan SBI yang dikasih bunga 6,5%," lanjutnya. Terjadilah negative spread. Kalau dibiarkan, tentu biaya operasional yang harus dikeluarkan BI bertambah dan bisa menggerus rasio kecukupan modal BI. Solusinya, BI bisa membiarkan saja rupiah menguat. Kebijakan seperti ini dilakukan oleh bank sentral Singapura yang membiarkan dollar Singapura menguat terhadap dollar AS meski perekonomiannya mengalami kontraksi. Solusi kedua, "BI bisa menempatkan dollarnya bukan di surat utang pemerintah AS tapi di instrumen dollar yang lain, misalnya surat utang negara lain atau obligasi korporasi dollar yang bluechip di negara lain," jelasnya. Beberapa bank sentral di negara berkembang telah mengambil langkah untuk menahan derasnya aliran dana asing. Misalnya, Bank of Thailand yang mengenakan pajak 15% terhadap dana asing di obligasi pemerintah. Bank of Japan (BoJ) melakukan intervensi ketika nilai tukar yen menguat terlalu tajam. Mirza menilai, BI bisa saja melakukan kebijakan serupa, misalnya menerapkan pajak bagi dana asing. "Saya kira tidak masalah, IMF sudah membolehkan, kok," kata Mirza. Ia memperkirakan, arus dana asing masih terus mengalir deras di tahun 2011. Tetapi, porsi kepemilikan asing yang semakin besar di SUN dan SBI bisa menimbulkan ketergantungan terhadap asing. Dampak lainnya, BI bisa menaikkan lagi giro wajib minimum (GWM) untuk mengatasi banjir likuiditas. "Lebih gampang bagi BI menaikkan GWM daripada menaikkan BI rate," tandasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Operasi moneter mahal, neraca BI bisa tergerus
BANDUNG. Chief Economist Bank Mandiri Mirza Adityaswara menilai, biaya operasi moneter yang semakin mahal bisa menggerus neraca Bank Indonesia (BI). Maklum, BI harus menanggung negative spread yang terjadi karena investasi BI yang dilakukan dalam dollar AS hanya memberikan return 0,25%. Padahal, BI harus memberikan bunga untuk dana yang tersimpan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) minimal sebesar 6,5%. Menurut Mirza, aliran dana asing yang deras mengalir ke dalam negeri membuat rupiah terus menguat. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Malaysia, Thailand, dan negara berkembang lain. Pasalnya di luar negeri pertumbuhan ekonominya melambat. Alhasil, dana-dana asing tersebut menempatkan investasinya di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya masih cukup tinggi. "Aliran dana asing ini membuat rupiah menguat terus. Nah, kalau rupiah terus menguat, ekspor terutama untuk sektor manufaktur yang akan terkena akibatnya," ujar Mirza kepada KONTAN, di sela-sela Media Training Bank Mandiri di Bandung, Kamis (14/10). Supaya rupiah tidak terlalu kuat, BI harus melakukan intervensi dengan membeli dollar AS. Ketika BI beli dollar AS, BI menempatkannya di obligasi pemerintah AS yang yieldnya hanya 2,5%. "Ketika beli dollar, BI mengeluarkan rupiah. Ini tentu bisa membuat rupiah di pasar banjir sehingga bisa menimbulkan inflasi. BI tidak mau itu. Makanya, rupiah harus ditarik dengan SBI yang dikasih bunga 6,5%," lanjutnya. Terjadilah negative spread. Kalau dibiarkan, tentu biaya operasional yang harus dikeluarkan BI bertambah dan bisa menggerus rasio kecukupan modal BI. Solusinya, BI bisa membiarkan saja rupiah menguat. Kebijakan seperti ini dilakukan oleh bank sentral Singapura yang membiarkan dollar Singapura menguat terhadap dollar AS meski perekonomiannya mengalami kontraksi. Solusi kedua, "BI bisa menempatkan dollarnya bukan di surat utang pemerintah AS tapi di instrumen dollar yang lain, misalnya surat utang negara lain atau obligasi korporasi dollar yang bluechip di negara lain," jelasnya. Beberapa bank sentral di negara berkembang telah mengambil langkah untuk menahan derasnya aliran dana asing. Misalnya, Bank of Thailand yang mengenakan pajak 15% terhadap dana asing di obligasi pemerintah. Bank of Japan (BoJ) melakukan intervensi ketika nilai tukar yen menguat terlalu tajam. Mirza menilai, BI bisa saja melakukan kebijakan serupa, misalnya menerapkan pajak bagi dana asing. "Saya kira tidak masalah, IMF sudah membolehkan, kok," kata Mirza. Ia memperkirakan, arus dana asing masih terus mengalir deras di tahun 2011. Tetapi, porsi kepemilikan asing yang semakin besar di SUN dan SBI bisa menimbulkan ketergantungan terhadap asing. Dampak lainnya, BI bisa menaikkan lagi giro wajib minimum (GWM) untuk mengatasi banjir likuiditas. "Lebih gampang bagi BI menaikkan GWM daripada menaikkan BI rate," tandasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News