KONTAN.CO.ID - Paska krisis keuangan global 2007/2008, regulator internasional yang digawangi Komite Basel berupaya meningkatan daya tahan (resiliensi) perbankan. Ada dua area yang menjadi fokus penguatan yaitu permodalan dan likuiditas. Penguatan permodalan dilakukan dengan mengeluarkan regulasi yang mewajibkan bank menebalkan modal melalui capital conservation buffer, capital surchage dan countercyclical capital buffer. Sementara pada sisi likuiditas, penguatan dilakukan melalui pemenuhan rasio liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%. Efeknya perbankan kita makin kuat. Mengutip data CEIC, rasio permodalan perbankan Indonesia sampai posisi Februari 2020 tercatat 22,3%, paling tinggi ketimbang beberapa anggota G20 dan negara ASEAN. Perbankan kita juga makin likuid, terlihat dari rasio LCR dan NSFR yang melampaui ketentuan minimal sebesar 100%. Bahkan, dari laporan keuangan publikasi triwulan I-2020, ada beberapa bank yang memiliki rasio LCR di atas 200% seperti BCA (290,23%), BRI (236,15%) dan Bank Mega (207,90%). Indikator likuiditas lainnya, yakni rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga tinggi mencapai 24,16%. Lalu Covid-19 di minggu terakhir Maret dan mulai menghantam ekonomi Indonesia. Banyak aktivitas ekonomi harus terhenti untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Sebagai institusi keuangan penyedia pembiayaan kepada pelaku ekonomi, tentu perbankan akan terpapar risiko gagal bayar tidak hanya dari sektor korporasi dan UMKM, namun juga sektor rumah tangga sebagai dampak lanjutannya. Pertanyaannya, mampukah bank bertahan?
Covid-19 Menguji Resiliensi Perbankan
KONTAN.CO.ID - Paska krisis keuangan global 2007/2008, regulator internasional yang digawangi Komite Basel berupaya meningkatan daya tahan (resiliensi) perbankan. Ada dua area yang menjadi fokus penguatan yaitu permodalan dan likuiditas. Penguatan permodalan dilakukan dengan mengeluarkan regulasi yang mewajibkan bank menebalkan modal melalui capital conservation buffer, capital surchage dan countercyclical capital buffer. Sementara pada sisi likuiditas, penguatan dilakukan melalui pemenuhan rasio liquidity coverage ratio (LCR) dan net stable funding ratio (NSFR) minimal 100%. Efeknya perbankan kita makin kuat. Mengutip data CEIC, rasio permodalan perbankan Indonesia sampai posisi Februari 2020 tercatat 22,3%, paling tinggi ketimbang beberapa anggota G20 dan negara ASEAN. Perbankan kita juga makin likuid, terlihat dari rasio LCR dan NSFR yang melampaui ketentuan minimal sebesar 100%. Bahkan, dari laporan keuangan publikasi triwulan I-2020, ada beberapa bank yang memiliki rasio LCR di atas 200% seperti BCA (290,23%), BRI (236,15%) dan Bank Mega (207,90%). Indikator likuiditas lainnya, yakni rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga tinggi mencapai 24,16%. Lalu Covid-19 di minggu terakhir Maret dan mulai menghantam ekonomi Indonesia. Banyak aktivitas ekonomi harus terhenti untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Sebagai institusi keuangan penyedia pembiayaan kepada pelaku ekonomi, tentu perbankan akan terpapar risiko gagal bayar tidak hanya dari sektor korporasi dan UMKM, namun juga sektor rumah tangga sebagai dampak lanjutannya. Pertanyaannya, mampukah bank bertahan?