KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJB Bumiputera) berpotensi mengambil opsi demutualisasi untuk menyehatkan keuangan perusahaan. Skema itu juga tercantum dalam revisi Rencana Penyehatan Keuangan (RPK) dan telah diatur dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera. Sebenarnya skema demutualisasi itu sempat bergulir pada tahun lalu. Salah satunya karena adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 7 Tahun 2023 yang memberikan kewenangan bagi OJK bisa mengubah anggaran dasar perusahaan asuransi. Dalam POJK tersebut, AJB Bumiputera bisa menerapkan opsi demutualisasi atau mengubah bentuk badan hukumnya. Adapun penerbitan POJK Nomor 7 Tahun 2023 merupakan amanat dari UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam Bagian Kelima BAB VII UU P2SK, tertera bahwa usaha bersama bisa mengubah bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas.
Mengenai hal itu, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menyebutkan, sebenarnya opsi demutualisasi memang dimungkinkan oleh Anggaran Dasar AJB Bumiputera (Pasal 40) dan dipertegas dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK. "Adapun demutualisasi merupakan jalan keluar dan diyakini dapat menyehatkan AJB Bumiputera dengan adanya suntikan modal dari luar atau investor," ucapnya kepada Kontan, Rabu (17/7).
Baca Juga: Pengamat Ini Menyebut, Masalah AJB Bumiputera Disebabkan Salah Asuh dan Salah Kelola Menurut Irvan, demutualisasi akan berdampak positif bagi pemegang polis yang selama bertahun-tahun menghadapi kesulitan pembayaran dari AJB Bumiputera. Sebab, perusahaan tersebut juga mengalami kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Namun, Irvan tak memungkiri terdapat kerugian yang bisa dirasakan para pemegang polis terkait opsi demutualisasi. Dia bilang bagi pemegang polis yang berpandangan bahwa mereka juga sebagai pemilik perusahaan, tentu akan kehilangan status tersebut karena perusahaan akan dimiliki oleh investor. "Kecuali, pemegang polis akan ikut sebagai investor baru," ungkapnya. Irvan berpendapat dengan skema mutual yang akan dijalankan terlebih dahulu dan sudah ditetapkan manajemen dalam revisi RPK, tidak akan mampu mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas. Dia bilang hal itu juga sudah terbukti selama ini. "Opsi mutual bisa saja berjalan, dengan catatan perusahaan berupaya mencairkan atau menjual sejumlah aset perusahaan yang sudah direncanakan di dalam RPK terbaru," ujarnya. Namun, Irvan mengatakan hal itu terasa berat. Selain itu, dia menyampaikan apabila dilakukan demutualisasi, pemegang polis juga harus bisa memastikan hak-haknya sebagai pemegang polis nantinya dibayar penuh. Lebih lanjut, Irvan membeberkan opsi demutualisasi bisa diawali dengan menggandeng strategic partner terlebih dahulu. Dia menerangkan hal itu sudah pernah dilakukan Bumiputera pada 2020, yakni menggandeng Sinar Mas membentuk PT Bumiputera (run off Bumiputera 1912).
"Akan tetapi, tidak berlanjut karena adanya ketidaksepahaman dengan manajemen Bumiputera. Oleh karena itu, partner tersebut akhirnya berubah menjadi Bhinneka Life yang masih beroperasi hingga sekarang," tuturnya. Irvan menyampaikan ada juga dampak positif dan negatif yang akan dirasakan manajemen Bumiputera apabila memilih opsi demutualisasi. Dampak negatifnya bagi manajemen Bumiputera, tentu pengurus nanti tak bisa hanya menjabat dengan menyandang status saja. Ia menyebut nantinya mereka tidak lagi hanya berbekal sebagai pemegang polis Bumiputera, tetapi harus punya profesionalitas dan integritas sebagai eksekutif. Sebab, tidak lagi ditentukan oleh Rapat Umum Anggota (RUA), melainkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang lebih luas. "Positifnya, mereka akan memiliki legitimasi yang lebih luas dari investor eksternal bukan hanya dari segelintir anggota RUA," katanya.
Editor: Khomarul Hidayat