KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dua bank raksasa asal Jepang memutuskan untuk menyetop pendanaan bagi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kondisi tersebut akan membuat pilihan pendanaan proyek PLTU menjadi terbatas, namun di sisi lain akan membuka peluang berkembangnya proyek pembangkit listrik energi terbarukan. Sebagai informasi, bank asal Jepang yaitu Mizuho mulai menghentikan pendanaan bagi proyek PLTU baru pada 14 April lalu. Mizuho juga akan memangkas pembiayaan untuk proyek PLTU pada tahun 2030 dan menghentikannya secara total pada tahun 2050 nanti. Bank asal negeri Sakura lainya, Japan’s Sumitomo Mitsui Financial Group Inc juga akan menyudahi pendanaan kepada proyek PLTU pada 1 Mei mendatang.
Baca Juga: Dua bank Jepang tak lagi danai proyek PLTU, begini komentar Toba Bara (TOBA) Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, selama ini proyek-proyek PLTU yang didanai Jepang biasanya melibatkan tiga pihak. Di antaranya penyediaan alat manufaktur, kontraktor Engineering, Procurement, and Construction (EPC), dan lembaga pembiayaan seperti bank dan asuransi. Lantas, Jepang menjadi salah satu dari tiga negara yang masih mendanai proyek-proyek PLTU di Asia, selain China dan Korea Selatan. “Saat ini tidak hanya bank saja, tapi juga lembaga asuransi asal Jepang juga mulai keluar dari proyek-proyek batubara,” kata Fabby, Senin (20/4). Kondisi seperti ini akan membuat opsi pendanaan bagi proyek PLTU batubara menjadi lebih sulit dan mahal. Padahal, selama ini perusahaan manufaktur dan EPC asal Jepang bisa menjual teknologi, karena mendapatkan dukungan pendanaan yang kompetitif dari lembaga keuangan dan pemerintah negara tersebut lewat skema kredit eskpor. Dengan mundurnya lembaga-lembaga keuangan Jepang yang biasa mendanai proyek PLTU atau tambang batubara, maka bisa diduga pula semakin sulit bagi proyek-proyek yang direncanakan operator atau EPC asal Jepang memperoleh pendanaan. Memang, pendanaan masih mungkin didapatkan dengan mengandalkan kredit ekspor atau pembiayaan dari saham investor. “Namun, konsekuensinya adalah beban cost of fund menjadi lebih mahal dan bisa mempengaruhi keekonomian proyek,” tambah dia. Di sisi lain, kondisi sekarang ini memungkinkan proyek-proyek energi baru terbarukan (EBT) memperoleh lebih banyak opsi pendanaan. Mulai dari bank-bank komersial, pembiayaan ekuitas, pembiayaan pasar modal, pinjaman lembaga keuangan internasional, serta pembiayaan pembangunan atau development finance.
“Untuk mengakses dana ini, tentunya proyek EBT tersebut harus menarik dan bankable juga,” kata Fabby. Ia pun merekomendasikan agar pemerintah melihat perubahan tren pembiayaan tersebut dan mulai membangun iklim investasi EBT yang sehat. Caranya melalui kebijakan yang terukur, regulasi yang menarik, penyediaan insentif fiskal dan instrumen mitigasi risiko, serta komitmen dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk memprioritaskan pengembangan EBT.
Baca Juga: Proyek PLTU milik Adaro Energy (ADRO) belum terdampak corona Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat