Opsi pengambilalihan Aruna mulai bergulir



JAKARTA. Opsi pengambilalihan tambak udang PT Aruna Wijaya Sakti, anak usaha PT Central Proteinaprima Tbk mulai bergulir. Perkiraan kebutuhan dana untuk mengambil alih tambak udang eks Dipasena itu mencapai lebih dari Rp 3 triliun.

Pilihan pengambil alih tambak udang ini adalah melalui pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) maupun pembentukan koperasi pengelola tambak udang ini. Menurut Fadel Muhammad, Menteri Kelautan dan Perikanan,sebagian besar dana itu akan dimanfaatkan untuk membeli aset produksi Aruna.

Opsi ini muncul setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) gagal mencarikan investor baru yang berminat membeli Aruna."Dari dua opsi ini, membentuk BUMD paling mungkin," tandas Fadel, Minggu (22/5).


Untuk mengumpulkan dana sebesar itu, Fadel bakal meminta beberapa bank BUMN mengucurkan kredit. Salah satunya dari Bank BNI. Selain itu, Fadel juga akan mengundang investor untuk membeli saham minoritas di BUMD.

Untuk mematangkan rencana ini, Fadel bakal berkoordinasi dengan Gubernur Lampung dan Bupati Tulangbawang. Proses ini akan membutuhkan waktu tiga hingga empat bulan.

Fadel mengaku telah mendapatkan satu pembeli yang akan menyerap udang petambak. Selain itu, ia juga tengah menjajaki lima calon pembeli udang lain.

Tapi, hal prioritas yang bakal diambil adalah mengalirkan kembali listrik ke tambak.Pemerintah berniat menanggung biaya listrik selama setahun. Saat ini,pasokan setrum di Aruna dihentikan akibat petambak tak mampu membayar listrik.

Berdasarkan laporan petambak, kebutuhan listrik di AWS sekitar 16,5Megawatt (MW) per bulan dengan biaya Rp 360 miliar per tahun. Namun, KKP menghitung, kebutuhan listrik sebenarnya hanya 10 MW per bulan. "Biayanya tidak sampai Rp 360 miliar per tahun," kata Fadel.

George Basuki, Manajer Komunikasi CP Prima mengaku belum menerima tawaran resmi pemerintah untuk mengambil alih AWS. "Kami masih menunggu bertemu dengan pemerintah, jadi belum bisa memutuskan," ujarnya.Meski begitu, George mengakui, situasi di AWS saat ini sudah tidak kondusif bagi CP Prima untuk berbisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie