Optimalisasi pemanfaatan layanan kesehatan mental: lebih dari sekadar isu akses?



Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental adalah isu yang dapat dialami oleh semua orang. Data Riskesdas 2018 yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia >15 naik menjadi 9,8% setelah sebelumnya dilaporkan dalam data Riskesdas 2013 berada pada angka 6%. Studi lain yang terbit pada Asian Journal of Psychiatry tahun 2018 mengenai prevalensi gejala depresi pada orang dewasa di Indonesia menyebutkan bahwa dari 31.442 partisipan yang mengisi kuesioner gejala depresi, sebanyak 21,8% memiliki gejala depresi sedang hingga berat (https://doi.org/10.1016/j.ajp.2018.03.017). Tentu saja data-data ini perlu dipandang serius sebagai gambaran umum kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia, yang dapat berpengaruh pada penurunan produktivitas, dan pada kasus-kasus tertentu, khususnya depresi, dapat sampai berujung pada tindakan bunuh diri.

Kabar baiknya, lembaga-lembaga terkait tidak tinggal diam melihat fenomena ini. Di tingkat dunia, sejak tahun 2008, Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah menaruh perhatian terhadap upaya menjembatani keterbatasan jumlah ahli kesehatan mental dan layanan kesehatan mental untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya di negara berkembang, salah satunya Indonesia, melalui program yang disebut mental health Gap Action Programme (https://www.who.int/mental_health/mhgap/en/).

Di Indonesia sendiri, langkah-langkah menuju kesehatan mental yang lebih baik perlahan-lahan sudah semakin nyata terlihat. Dimulai dari disahkannya Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa pada tahun 2014, satu per satu upaya nyata mulai direalisasikan. Mulai dari ditanggungnya layanan kesehatan termasuk pengobatan untuk masalah kejiwaan oleh BPJS, hingga mulai tersedianya layanan psikolog praktek di puskesmas-puskesmas. Di luar itu, selain layanan kesehatan mental konvensional yang bersifat tatap muka, saat ini layanan konseling daring juga sudah banyak berkembang dan ditawarkan dengan berbagai skema oleh beragam lembaga dan organisasi yang berbeda-beda. Walaupun belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, tetapi adanya sistem dan pilihan-pilihan layanan kesehatan mental di berbagai lini ini telah menunjukkan adanya ketersediaan akses bagi masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat pun sudah mulai melakukan akses terhadap layanan kesehatan, tetapi pemanfaatannya masih dapat lebih dioptimalkan.


Tantangan pemanfaatan layanan kesehatan mental di Indonesia yang optimal rasanya tidak hanya bicara mengenai ada atau tidaknya fasilitas dan akses untuk menjangkaunya. Di satu sisi, ada masyarakat yang sebetulnya memerlukan layanan kesehatan mental tetapi tidak kunjung mengaksesnya, namun di sisi lain ada pula masyarakat yang mungkin tidak membutuhkan, tetapi melakukan akses dengan alasan untuk memanfaatkan ketersediaan akses yang ada. Perlu ada strategi yang dilakukan agar akses yang sudah tersedia dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya terutama oleh mereka yang memerlukan. Secara umum, yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental dan kepekaan untuk mengenali kondisi kesehatan mental mereka. Hal ini dapat disampaikan dalam bentuk edukasi kepada masyarakat. Dengan edukasi yang memadai, masyarakat dapat diajarkan untuk mengenali kondisi kesehatan mental mereka dan memahami indikator yang menunjukkan bahwa mereka membutuhkan bantuan. Dengan demikian, masyarakat dapat secara mandiri belajar melihat keadaan diri sendiri dan akses terhadap layanan kesehatan mental dapat dilakukan secara tepat guna.

Isu lain terkait perkembangan layanan konseling daring, sebuah studi yang terbit pada jurnal Internet Interventions pada tahun 2018 mengenai penerimaan terapi psikologis yang disampaikan secara daring di Indonesia melaporkan hasil bahwa responden yang menunjukkan penerimaan lebih tinggi terhadap terapi daring adalah mereka yang memang sudah aktif sebagai pengguna internet. Sementara itu, mereka yang tidak terbiasa menggunakan internet cenderung lebih tidak terbuka dengan kemungkinan mencoba menggunakan terapi daring (https://doi.org/10.1016/j.invent.2018.04.004). Hal ini memberikan tilikan bahwa jenis layanan kesehatan mental tertentu akan lebih diminati oleh kelompok masyarakat tertentu dan lebih tidak diminati oleh kelompok lainnya. Dengan demikian, menyediakan akses saja mungkin memang tidak cukup, tetapi perlu ada pendekatan yang dilakukan agar akses tersebut diketahui oleh kelompok yang sesuai atau diperkenalkan dengan cara yang tepat untuk meningkatkan peluang optimalisasi pemanfaatannya.

Merujuk pada paparan di atas, dapat dikatakan bahwa penyediaan akses terhadap layanan kesehatan mental perlu dibarengi juga dengan sistem yang memadai untuk meningkatkan kemungkinan akses yang tepat guna oleh masyarakat yang membutuhkan.

Dr. Retha Arjadi, M.Psi., Psikolog

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: cecilia valencia