KONTAN.CO.ID - Perekonomian global saat ini sedang mengalami
multiple shocks. Pasca pandemi COVID-19, diikuti invasi Rusia-Ukraina yang mengakibatkan disrupsi
global supply chains sehingga berdampak pada krisis pangan dan energi. Akibat selanjutnya terjadi inflasi, kenaikan suku bunga, dan pelemahan kurs valuta asing. Kondisi ini diperparah dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan negara-negara maju dengan keuangan terkuat, seperti Eropa dan Amerika Serikat, sehingga mengancam resesi ekonomi global dan nasional. Untuk meningkatkan resiliensi ekonomi nasional, permintaan agregat perlu didorong khususnya dari sisi investasi dan ekspor. Sektor ini tidak hanya memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar akan tetapi juga memberikan
multiplier effect yang tinggi. Hasil riset penulis menggunakan data Multi-regional Input Output (MRIO) dari Asian Development Bank tahun 2021, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sektor-sektor unggulan yang dapat mendorong ekspor.
Global Value Chains
Perdagangan internasional saat ini sudah ter
capture dalam Global Value Chains (GVC), negara-negara di dunia termasuk Indonesia mulai
concern pada peningkatan ekspor barang
intermediate. GVC adalah jaringan tahapan produksi barang
intermediate mulai dari desain produk hingga distribusi barang kepada konsumen akhir yang diproduksi dan dirakit di negara yang berbeda atau melintasi perbatasan internasional. Dengan terlibat dalam GVC, suatu negara tidak perlu lagi memproduksi seluruh tahapan, akan tetapi bisa menspesialisasikan pada tahap tertentu dimana negara tersebut memiliki keunggulan komparatif sehingga bisa meningkatkan nilai tambah.
Partisipasi negara-negara dalam GVC bisa diukur dari sisi
forward dan
backward linkage.
Forward linkage mengukur
share nilai tambah domestik yang melekat dalam ekspor barang
intermediate terhadap ekspor bruto, sedangkan
backward linkage mengukur
share nilai tambah asing yang melekat dalam ekspor barang
intermediate terhadap ekspor bruto. Bagi sebagian besar negara ASEAN termasuk Indonesia,
forward linkage mendominasi
backward linkage. Selain meningkatkan partisipasi GVC, penting juga bagi negara-negara untuk mengukur berapa kali rata-rata nilai tambah domestik yang melekat pada barang
intermediate dari pengguna pertama hingga penyerapan akhirnya. Nilai yang semakin besar menunjukkan posisi suatu sektor lebih ke hulu. Suatu negara dapat memproduksi dan mengekspor suatu barang sesuai dengan keunggulan komparatifnya. Dalam kerangka GVC, pengukuran keunggulan komparatif suatu negara, mengacu pada ukuran keunggulan komparatif baru yang merupakan pengembangan ukuran keunggulan komparatif tradisional (RCA) yang dipelopori oleh Balassa (1965). Ukuran keunggulan komparatif baru dikenal dengan
New Revealed Symmetric Comparative Advantage (NRSCA). Ukuran ini lebih akurat karena mengukur keunggulan komparatif berdasarkan kemampuan sumber daya domestik.
Sektor Unggulan
Dengan memperhitungkan tingkat partisipasi, posisi, dan keunggulan komparatif negara dalam GVC, sektor-sektor unggulan Indonesia adalah sektor pertambangan dan penggalian; pertanian, perburuan, kehutanan, dan perikanan; pulp dan kertas, percetakan, dan penerbitan; hotel and restoran; makanan, minuman, dan tembakau; kayu, barang dari kayu, dan gabus. Sektor-sektor tersebut memiliki komponen nilai tambah domestik lebih besar daripada nilai tambah asing. Sektor unggulan lain yaitu sektor manufaktur; industri tekstil dan pakaian jadi; sektor kulit, barang dari kulit, dan alas kaki memiliki komponen nilai tambah asing yang lebih besar. Sektor-sektor unggulan Indonesia, sebagian besar masih merupakan sektor primer dan manufaktur teknologi rendah. Sektor-sektor unggulan tersebut diharapkan menjadi pendorong ekspor Indonesia.
Hilirisasi
Untuk mengoptimalkan sektor pertambangan dan penggalian sebagai salah satu sektor unggulan, pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan hilirisasi nikel untuk memproduksi
stainless steel maupun baterai listrik lithium untuk mendukung industri kendaraan listrik di Indonesia. Kebijakan hilirisasi ini dapat mendorong surplus perdagangan sekaligus menciptakan
green mobility. Kebijakan hilirisasi dapat terus dikembangkan pada sektor-sektor unggulan lainnya yang posisinya masih relatif hulu agar dapat meningkatkan daya saing, seperti contohnya industry berbasis agro, mineral, migas, dan batubara. Selain hilirisasi, pemerintah dapat mengembangkan
research and development karena memberikan nilai tambah yang tinggi. Mempersiapkan infrastruktur riset dan inovasi, penguasaan teknologi, pemberian insentif, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan tersebut. Selain itu optimalisasi sektor unggulan memerlukan sinergi dan kerjasama dari berbagai pihak seperti pemerintah, pelaku usaha, peneliti, akademisi, dan industri agar tercipta ekosistem yang mendukung bagi peningkatan daya saing sehingga dapat mendorong ekspor dan pada akhirnya tercapai
sustainable development. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Indah Sulistyorini