Optimisme pasar bisa dorong IHSG tembus 6.000



KONTAN.CO.ID - Pada pekan kemarin Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Indeks bertengger pada level 5915,36 setelah dibuka pada level 5906,12. Secara year to date, indeks telah bertumbuh 11,68%.

Meski indeks mencatatkan rekor, bursa Indonesia masih diwarnai aksi nett sell. Selama sepekan terakhir saja, nett sell asing tercatat sebesar Rp 1,69 triliun. Sedangkan selama hampir tiga bulan terakhir, nett sell asing masih tercatat sebesar Rp 25,68 triliun.

Liyanto Sudarso, Investment Analyst MNC Asset Manegement menyatakan, keluarnya asing dari IHSG saat ini lantaran mereka menilai IHSG sudah mahal secara valuasi. Level saat IHSG saat ini sudah berada di P/E ratio hampir 20 kali.


"Namun, ekspektasi domestik masih akan terjaga selama data fundamental ekonomi masih mendukung," terang Liyanto kepada KONTAN, Jumat (25/8).

Disisi lain, pada September mendatang The Fed berencana untuk mengurangi likuiditas hot money dan akan membuat aliran dana kembali ke AS untuk berdiam di instrumen investasi seperti government bond. Ini seiring naiknya return yield di AS.

Sehingga, pertumbuhan IHSG ditengah-tengah nett sell asing itu lantaran investor domestik masih optimistis dengan perekonomian Indonesia. Hal itu lantaran ditopang oleh data-data fundamental yang kuat seperti stabilnya nilai rupiah, tingginya cadangan devisa, dan inflasi yang terjaga.

"Juga suku bunga rendah yang menandakan ekonomi masih berada di expansion zone serta RAPBN 2018 yang lebih realistis dari segi penerimaan negara," terangnya.

Dengan adanya sentimen-sentimen tersebut, Liyanto menilai bahwa IHSG masih bisa tembus ke level 6.000. Asalkan kondisi fundamental ekonomi masih terjaga atau bahkan membaik di kuartal III-2017.

Di antaranya seperti non-performing loan (NPL) perbankan yang menurun, nilai rupiah yang stabil di kisaran 13.300 - 13.500, cadangan devisa negara yang masih memadai. Itu dengan ditopang oleh membaiknya harga komoditas seperti batubara yang sudah di atas level US$ 90 per ton. "Selain itu, adanya level konsumsi yang meningkat akibat turunnya lagi suku bunga acuan 7days repo rate," katanya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini