KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang Dagang Amerika Serikat (AS) - China dianulir bakal memberikan pengaruh besar bagi industri manufaktur dalam negeri Indonesia. Kalau pelaku industri tidak pandai-pandai mengatur strategi, peluang yang ada dapat hilang sekejap mata. The Economist Intelligence Unit sebelumnya sempat merilis riset yang menyebutkan perang dagang AS-China akan memunculkan sejumlah pengaruh ke perekonomian global, khususnya pasar Asia, termasuk Indonesia. Tiga sektor yang paling rentan yakni Information and Communication Technology (ICT), otomotif dan komponen serta garmen. Bisnis otomotif misalnya, Indonesia dinilai dapat mengambil peluang dari perang dagang karena memiiki pasar mobil penumpang terbesar se ASEAN. Namun Indonesia bermasalah dengan infrastruktur dan iklim bisnis secara umum sehingga menghambat investasi asing. Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tak menampik hal tersebut, bahwa regulasi struktur industri otomotif dalam negeri harus secepatnya dibenahi. "Ada beberapa peraturan atau perpajakan yang harus dibenahi, supaya Indonesia bisa jadi production base untuk semua jenis kendaraan bermotor dan tentu nya akan jadi eksportir yang baik," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Salah satu sengkarut diranah regulasi yakni persoalan penetapan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan jenis sedan. Hal ini menyulitkan industri untuk menambah lini produksi segmen kendaraan tersebut, padahal demand pasar ekspor akan sedan dinilai punya masa depan cerah ketimbang jenis mobil lainnya. Meski demikian belum ada kata terlambat, apalagi kata Jongkie Indonesia kedepan masih punya peluang besar untuk jadi pemasok otomotif di dunia ditengah keberadaannya pada pasar regional ASEAN ini. Berdasarkan data Asean Automotive Federation (AAF), penjualan kendaraan roda empat Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai 1,08 juta unit atau 32,32% dari total 3,34 juta unit dari penjualan mobil kawasan Asean. Sementara negara dengan penjualan mobil terbanyak kedua adalah Thailand, diikuti Malaysia di urutan ketiga. Jongkie mengharapkan Indonesia akan tetap jadi pemimpin di ASEAN. Mengingat pertumbuhan ekonominya baik di atas 5%, serta jumlah penduduk yang besar serta pendapatan per kapita yang akan terus meningkat. Sementara itu bagi Jonfis Fandy, Marketing & After Sales Service Director Honda Prospect Motor Mengemukakan bahwa efek terbesar dari perang dagang yang dirasakan selama ini adalah pengaruh di nilai tukar. Ditengah fluktuasi kurs dan kondisi ekonomi global ini, menurutnya penting pula agar pemerintah lebih aware membuka peluang memperkuat industri komponen lokal. "Tentunya harus diseimbangkan dengan adanya investasi lokal dan alih teknologi ke Indonesia," kata Jonfis kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Sebagai negara berkembang, Industri dalam negeri harus terus dipacu dan belum ada kata terlambat untuk memperkuat diri demi persaingan di tingkat regional. Adapun di sektor ICT Indonesia, khususnya produk ponsel menurut Ali Soebroto, Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (Aipti) mengatakan industri belum terdampak secara langsung. Kecuali kalau produk lain dari China dikenakan kenaikan bea masuk, kemungkinan menimbulkan kesempatan bagi Indonesia, ASEAN dan negara berkembang lainnya untuk menerima pemindahan produksi dari China guna menghindari bea masuk yg dikenakan Amerika apabila barangnya diproduksi di China. Kesempatan lain lagi datang dari produk ponsel jika mau di-ekspor ke India, karena belum ada FTA antara China-India, dan India tidak ikut International Trade Agreement, sehingga ada bea masuk utk masuk ke pasar India. "Yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah utk ekspor ke India atau Amerika, membebaskan Pph-22, untuk impor bahan baku dari luar negeri, hambatan ini besar sekali bagi Industri yang ada kecuali bagi Industri yg berstatus KB (Kawasan Berikat)," beber Ali kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Sementara untuk investasi pabrik baru, menurut Ali belum dirasakan perlu karena kapasitas terpasang dalam negeri cukup besar. Iya menawarkan agar sebaiknya relokasi kapasitas pabrik dari China ke Indonesia dengan menggunakan kapasitas pabrik dalam negeri yang saat ini berlebihan. Sebagai gambaran saja, produksi nasional rata-rata setiap tahun mencapai 60 juta unit ponsel, sementara kapasitas terpasang dalam negeri saat ini mencapai 100 juta unit per tahunnya. "Tinggal alat ukur dan beberapa mesin khusus kalau diperlukan bisa dipindahkan dari China ke Indonesia, sehingga tidak perlu investasi baru untuk kedua belah pihak," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Optimisme pelaku usaha dalam negeri hadapi perang dagang
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang Dagang Amerika Serikat (AS) - China dianulir bakal memberikan pengaruh besar bagi industri manufaktur dalam negeri Indonesia. Kalau pelaku industri tidak pandai-pandai mengatur strategi, peluang yang ada dapat hilang sekejap mata. The Economist Intelligence Unit sebelumnya sempat merilis riset yang menyebutkan perang dagang AS-China akan memunculkan sejumlah pengaruh ke perekonomian global, khususnya pasar Asia, termasuk Indonesia. Tiga sektor yang paling rentan yakni Information and Communication Technology (ICT), otomotif dan komponen serta garmen. Bisnis otomotif misalnya, Indonesia dinilai dapat mengambil peluang dari perang dagang karena memiiki pasar mobil penumpang terbesar se ASEAN. Namun Indonesia bermasalah dengan infrastruktur dan iklim bisnis secara umum sehingga menghambat investasi asing. Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tak menampik hal tersebut, bahwa regulasi struktur industri otomotif dalam negeri harus secepatnya dibenahi. "Ada beberapa peraturan atau perpajakan yang harus dibenahi, supaya Indonesia bisa jadi production base untuk semua jenis kendaraan bermotor dan tentu nya akan jadi eksportir yang baik," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Salah satu sengkarut diranah regulasi yakni persoalan penetapan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan jenis sedan. Hal ini menyulitkan industri untuk menambah lini produksi segmen kendaraan tersebut, padahal demand pasar ekspor akan sedan dinilai punya masa depan cerah ketimbang jenis mobil lainnya. Meski demikian belum ada kata terlambat, apalagi kata Jongkie Indonesia kedepan masih punya peluang besar untuk jadi pemasok otomotif di dunia ditengah keberadaannya pada pasar regional ASEAN ini. Berdasarkan data Asean Automotive Federation (AAF), penjualan kendaraan roda empat Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai 1,08 juta unit atau 32,32% dari total 3,34 juta unit dari penjualan mobil kawasan Asean. Sementara negara dengan penjualan mobil terbanyak kedua adalah Thailand, diikuti Malaysia di urutan ketiga. Jongkie mengharapkan Indonesia akan tetap jadi pemimpin di ASEAN. Mengingat pertumbuhan ekonominya baik di atas 5%, serta jumlah penduduk yang besar serta pendapatan per kapita yang akan terus meningkat. Sementara itu bagi Jonfis Fandy, Marketing & After Sales Service Director Honda Prospect Motor Mengemukakan bahwa efek terbesar dari perang dagang yang dirasakan selama ini adalah pengaruh di nilai tukar. Ditengah fluktuasi kurs dan kondisi ekonomi global ini, menurutnya penting pula agar pemerintah lebih aware membuka peluang memperkuat industri komponen lokal. "Tentunya harus diseimbangkan dengan adanya investasi lokal dan alih teknologi ke Indonesia," kata Jonfis kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Sebagai negara berkembang, Industri dalam negeri harus terus dipacu dan belum ada kata terlambat untuk memperkuat diri demi persaingan di tingkat regional. Adapun di sektor ICT Indonesia, khususnya produk ponsel menurut Ali Soebroto, Ketua Umum Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (Aipti) mengatakan industri belum terdampak secara langsung. Kecuali kalau produk lain dari China dikenakan kenaikan bea masuk, kemungkinan menimbulkan kesempatan bagi Indonesia, ASEAN dan negara berkembang lainnya untuk menerima pemindahan produksi dari China guna menghindari bea masuk yg dikenakan Amerika apabila barangnya diproduksi di China. Kesempatan lain lagi datang dari produk ponsel jika mau di-ekspor ke India, karena belum ada FTA antara China-India, dan India tidak ikut International Trade Agreement, sehingga ada bea masuk utk masuk ke pasar India. "Yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah utk ekspor ke India atau Amerika, membebaskan Pph-22, untuk impor bahan baku dari luar negeri, hambatan ini besar sekali bagi Industri yang ada kecuali bagi Industri yg berstatus KB (Kawasan Berikat)," beber Ali kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Sementara untuk investasi pabrik baru, menurut Ali belum dirasakan perlu karena kapasitas terpasang dalam negeri cukup besar. Iya menawarkan agar sebaiknya relokasi kapasitas pabrik dari China ke Indonesia dengan menggunakan kapasitas pabrik dalam negeri yang saat ini berlebihan. Sebagai gambaran saja, produksi nasional rata-rata setiap tahun mencapai 60 juta unit ponsel, sementara kapasitas terpasang dalam negeri saat ini mencapai 100 juta unit per tahunnya. "Tinggal alat ukur dan beberapa mesin khusus kalau diperlukan bisa dipindahkan dari China ke Indonesia, sehingga tidak perlu investasi baru untuk kedua belah pihak," pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News