Organda meminta taksi online terkena pajak



KONTAN.CO.ID -  Di tengah upaya meningkatkan pemasukan negara, Organisasi Angkutan Darat (Organda) berharap, pemerintah segera memberlakukan pajak atas beroperasinya taksi online.  Sekjen DPP Organda Ateng Aryono mengungkapkan, akibat persaingan dengan taksi online, sebagianperusahaan  taksi meter kolaps. Walhasil,  potensi penerimaan pajak dari kendaraan umum jenis ini menjadi hilang. “Potensi pajak hilang, apakah itu PPn, PPh maupun pajak  daerah. Sementara taksi online tidak dikenakan pajak. Jadi sebenarnya negara mengalami 2 kali kehilangan potensi pajak,” ujar Ateng, Kamis (21/9).  

Pengenaan pajak atas taksi online ini menurut dosen Univ Atmajaya Ahmad Iskandar, semestinya bisa dilakukan. Apalagi, Ditjen Pajak terus mengejar pemasukan negara melalui pajak, mulai pajak untuk para penulis buku sampai pembelian ponsel.  Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Hestu Yoga Saksama mengungkapkan, jenis pajak yang dapat dikenakan terhadap bisnis online ataupun transportasi online yakni Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). "Kalau pajaknya sama saja, kalau enggak PPN, ya PPh tidak ada jenis lain," ujar Hestu, mengutip Kompas.com, beberapa waktu lalu. Sementara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, dalam peraturan Menteri Perhubungan soal pajak taksi online ini juga sudah diberi ruang, tapi rinciannya merupakan wewenang Kementerian Keuangan.

Revisi Peraturan Menteri Perhubungan No 26/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, hingga saat ini masih berproses. Banyak pihak menunggu peraturan baru lebih adil dan berimbang. Organda sendiri n masih menunggu uji publik oleh Kementerian Perhubungan. “Biasanya kami dipanggil pada saat dilakukan uji publik untuk memberi masukan-masukan. Namun sampai saat ini kami masih menunggu, sebab kami belum mengetahui hal-hal apa saja yang mengalami perubahan dalam revisi peraturan tersebut” kata Ateng. 


Sebagaimana diketahui Mahamah Agung telah membatalkan beberapa pasal dalam Permenhub No. 26/2017 karena gugatan yang diajukan enam pengemudi taksi online dengan alasan peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan juga tidak demokratis karena tidak melibatkan banyak pihak. Pembatalan ini menimbulkan kontroversi banyak kalangan. “Saya tidak paham mengapa MA seperti itu, karena misalnya keputusan MK tentang STNK, kendaraan harus menggunakan STNK sesuai badan hukumnya,  oleh MA dihilangkan. Padahal  peraturan itu sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ini mengakibatkan ketidakpastian dan kami bingung mana sebenarnya lembaga hukum   yang lebih kuat, MA atau MK,” tambah Ateng. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ahmad Febrian