Otoritas Jasa Keuangan versus harapan publik



Lembaga negara, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Ombudsman RI, berturut-turut belum lama ini menyoroti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terakhir, Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implication for Indonesia yang rilis awal September menyoroti masalah yang menimpa dua asuransi jiwa nasional terbesar, AJB Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya, yang belum mampu memenuhi kewajibannya.

Pengawasan OJK oleh BPK, Ombudsman, dan DPR dikatakan merupakan hal yang wajar. Namun, kita masih harus menunggu, apakah rekomendasi BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2018, seperti soal kelebihan pungutan Rp 493,91 miliar, sewa gedung yang tidak dimanfaatkan Rp 412,31 miliar, setoran pajak badan tahun 2017 sebesar Rp 901,1 miliar, sudah ditindaklanjuti?

Kita bisa berkaca dari pengalaman, ketika OJK tidak mengindahkan rekomendasi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Rekomendasi ini melalui surat saran dan pertimbangan yang dialamatkan ke OJK pada 25 Agustus 2014 soal pengaturan tarif asuransi yang ternyata menimbulkan kekisruhan dalam bisnis perasuransian hingga kini.


KPPU menyarankan OJK untuk tidak menetapkan batas bawah tarif premi pada industri asuransi. Ini diperlukan untuk memberi ruang persaingan sehat dan menciptakan pelaku usaha yang efisien serta memberi manfaat kepada konsumen secara keseluruhan.

Pendapat itu disampaikan KPPU berdasarkan hasil kajian mereka dalam menindaklanjuti berbagai pengaduan terkait kenaikan premi asuransi kendaraan bermotor dan harta benda serta jenis risiko khusus (banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami) melalui Surat Edaran OJK Nomor SE.06/D.05/2013 tentang Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Risiko Khusus Tahun 2014. Dalam surat edaran tersebut, OJK menetapkan besaran batas atas dan batas bawah bagi tarif premi asuransi itu. Yakni, tarif batas bawah yang baru OJK tetapkan dengan kenaikan mencapai 300% dari tarif premi semula.

KPPU menemukan bahwa hampir seluruh perusahaan asuransi menetapkan tarif premi pada batas bawah tersebut. Ini menunjukkan, besaran tarif batas bawah yang lama telah memadai dan kompetisi harga tidak terjadi. Kebijakan tarif batas bawah seolah menjadi sarana kartel harga dalam industri asuransi nasional. KPPU memandang, bahwa konsumen yang akan dirugikan. Sebab, konsumen tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh tarif premi yang kompetitif. Menurut KPPU, SE OJK tersebut didasari oleh kekhawatiran keluarnya pelaku usaha asuransi dari pasar akibat perang tarif. Dan, KPPU beranggapan, kekhawatiran tersebut bisa dinilai wajar. Karena dengan keterbukaan pasar, maka pelaku usaha terdorong untuk efisien dan memiliki daya saing pasar tinggi.

Lebih lanjut kajian KPPU juga menjelaskan, bahwa penetapan tarif batas bawah sering menjadi entry barrier bagi perusahaan asuransi yang efisien, dan mampu menawarkan tarif yang lebih kompetitif di bawah tarif batas bawah. Pelaku usaha di industri ini bisa terlindungi. Namun, konsumen akan menjadi korban karena tidak memiliki akses pada tarif premi yang lebih kompetitif.

Alih-alih menghasilkan laba super normal akibat pemberlakuan rezim tarif sejak 2014, operasional usaha asuransi bahkan membukukan rata rata rasio beban (klaim, beban usaha, dan komisi) melebihi pendapatan premi neto sebesar 125,08% bagi asuransi umum dan 118,02% untuk asuransi umum pada tahun 2017. Sebanyak 52 asuransi umum atau 71,23% dan 35 asuransi jiwa atau 68,82% membukukan rasio beban hingga di atas 100%.

OJK kerai abai

Kekisruhan ini direspons OJK dengan menyerahkan kepada industri asuransi melakukan self regulatory melalui Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dengan penerbitan SK AAUI No 22/2018 yang melarang praktik engineering fee disertai ikrar bersama anggota. Sementara biang keladi polemik engineering fee yang menghalalkan diskon atau komisi kepada pihak ketiga yang terkait dengan perolehan bisnis yaitu SE OJK Nomor 6/2017 tidak dicabut.

Rezim tarif yang mengindikasikan inefisiensi bagi konsumen seperti sinyalemen KPPU di atas yang menghalalkan komisi kepada pembawa bisnis, pada dasarnya membenarkan praktik gratifikasi yang diharamkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bila melibatkan BUMN. Dengan contoh KPPU di atas, kita patut skeptis dengan efektivitas setiap pembuatan peraturan oleh OJK yang melibatkan publik seperti asosiasi. Faktanya, bahkan terhadap rekomendasi sesama lembaga negara OJK kerap abai.

Ada beberapa harapan publik yang bisa dikemukakan kepada OJK dengan kewenangan yang demikian besar. Pertama, soal pengawasan pada pelaku jasa keuangan. Diharapkan OJK mampu mencegah dan menyelamatkan serta melindungi konsumen.

Sangat mungkin terjadi kerugian di pihak konsumen, misalnya, terhadap asuransi yang pailit. Belum lagi soal Bumiputera yang justru makin terpuruk setelah ditangani oleh Pengelola Statuter besutan OJK yang tidak melalui uji kepatutan dan kelayakan. Apakah amblasnya aset dan sumber daya manusia (SDM) Bumiputera bisa dikoreksi oleh OJK, selain merekomendasikan paket direksi pada Oktober 2018 silam yang sejak Mei lalu telah diberhentikan seluruhnya oleh BPA Bumiputera dengan alasan kompetensi.

Kedua, pungutan yang ditentukan UU untuk menambah anggaran OJK. Satu sisi memberatkan, tapi bila ternyata ada kelebihan pungutan, apakah ada fasilitas restitusi atau kompensasi dengan layanan OJK yang lebih baik. Ketiga, di era teknologi finansial (tekfin) ini, OJK jangan sampai gamang dan harus jeli mengenali adanya celah hukum yang dimanfaatkan pihak yang berniat jahat. Keempat, agar OJK melakukan terobosan kebijakan terkait alternatif pembiayaan infrastruktur, pembiayaan UKM, dan menggairahkan pasar modal yang sedang lesu darah, selain inisiatif soal bank wakaf.

Kelima, OJK perlu terobosan yang cepat dan akurat terhadap persoalan, seperti Bumiputera, Jiwasraya, Bank Muamalat yang masih terkatung-katung. OJK tak cukup hanya mengirim sinyal agar nasabah tetap tenang tanpa ada solusi final dan memuaskan nasabah. Ada harapan begitu tinggi dari publik terhadap kinerja OJK, agar jangan jadi lembaga biasa dengan anggaran dan fasilitas wah.♦

Irvan Rahardjo Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi