KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mematok target penerimaan pajak pada tahun depan sebesar Rp 1.986,9 triliun. Target penerimaan pajak tersebut meningkat 9,28% atau Rp 168,7 triliun dari
outlook tahun 2023. Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, target penerimaan pajak tahun tersebut masih realistis. Namun, ini dengan pertimbangan rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak sebelum pandemi (2014-2019) sebesar Rp 94 triliun dan perbaikan pasca Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) serta
extra effort dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Menurut kami, target penerimaan pajak tahun 2024 masih masuk akal," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (17/8).
Baca Juga: Pemerintah Bidik Setoran Pajak Penghasilan Rp 1.139,8 Triliun pada 2024 Hanya saja, penerimaan pajak pada tahun depan masih akan menghadapi sejumlah tantangan. Di sisi makro, Indonesia dihadapkan pada ekonomi dunia yang terfragmentasi. Ini terlihat dari kebijakan dua negara adidaya seperti China dan Amerika Serikat (AS). Akibatnya, ekonomi China mulai menunjukkan pelemahan dan ujungnya juga berdampak terhadap ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada China dalam hal perdagangan internasional. "Ini akan berdampak pada penerimaan pajak secara tak langsung," katanya. Di sisi lain, pemilu serentak pada tahun 2024 dapat menjadi peluang lantaran konsumsi masyarakat akan terdorong pada masa pemilu. Meski begitu, data historis tidak mendukung adanya peningkatan kinerja penerimaan pajak yang konsisten pada tahun pemilu. Fajry memberikan beberapa opsi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun depan. Pertama, melakukan
extra effort melalui tindakan pengawasan, pemeriksaan, penagihan, penyidikan, dan ekstensifikasi wajib pajak.
Baca Juga: Permintaan Domestik Solid, Penerimaan Pajak Konsumsi 2024 Dipatok Rp 810,4 Triliun "Ini menjadi kunci agar penerimaan pajak dapat tercapai di tengah ketidakpastian," imbuh Fajry. Kedua, menerbitkan peraturan teknis UU HPP yang belum ada. Fajry bilang, hingga saat ini masih ada ketentuan yang belum memiliki peraturan turunan sehingga belum dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak penerimaan pajak. Salah satunya adalah instrumen penghindaran pajak. Ketiga, optimalisasi penerimaan bagi kelompok
high net worth individuals (HNWI), salah satunya dengan memanfaatkan data
Automatic Exchange of Information (AEOI) pasca kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Dalam hal ini, pemerintah harus meneliti apakah ada aset warga negara Indonesia di luar negeri yang belum dilaporkan pasca PPS.
Baca Juga: Target Pertumbuhan Penerimaan Pajak Tahun Depan Meningkat Keempat, integrasi data pasca UU HPP akan menjadi kunci. Menurutnya, ini akan memudahkan otoritas dalam menggali penerimaan dari data pihak ketiga. Oleh karena itu, dirinya menegaskan bahwa implementasi
core tax system harus berjalan sesuai target, yakni pada tahun 2024. Hal ini lantaran sisten tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam mengolah data yang ada dan melakukan pemetaan protensi-potensi penerimaan yang dapat digali. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli