Outlook Astra Agro Lestari (AALI) Menantang, Seperti Apa Rekomendasi para Analis?



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Sepanjang paruh pertama tahun 2022, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) berhasil membukukan kinerja yang solid. Emiten perkebunan kelapa sawit ini berhasil mencatatkan kenaikan topline maupun bottom line.

Tercatat, pada semester I-20222, emiten grup Astra ini berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp 10,96 triliun atau naik 1,21% secara year on year. Sementara itu, laba bersih AALI juga naik hingga 24,63% menjadi Rp 809,31 miliar.

Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti menjelaskan, pendapatan AALI memang mengalami kenaikan. Namun, jika dilihat secara kuartalan justru mengalami kontraksi secara tahunan. Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari kenaikan selisih kurs pada periode tersebut mengingat nilai tukar dolar yang menguat. 


“Kemudian, AALI juga terdampak oleh kenaikan harga bahan produksi yang tidak dapat dihindari. Serta kerugian dari sisi investasi pada JV yang cukup besar,” ujar Desy ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (9/8). 

Dalam jangka pendek, ia melihat AALI masih akan dihadapkan dengan turunnya harga CPO seiring pasokan di dalam negeri masih melimpah. Sementara di satu sisi, risiko resesi yang masih tinggi juga menurunkan permintaan.

Baca Juga: Pendapatan dan Laba Astra Agro (AALI) Kompak Naik pada Semester I

Senada, analis Panin Sekuritas Felix Darmawan juga meyakini harga CPO yang sudah mulai turun bisa menghambat ke kinerja AALI, khususnya dari sisi topline. Menurutnya ke depan, harga CPO akan dipengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia terkait intensifikasi ekspor.

Selain itu, agar harga CPO bisa kembali menguat, maka perlu dibarengi dengan peningkatan demand dari China dan India. Felix mengungkapkan, di China, pelonggaran lockdown bisa mendorong permintaan CPO. Sementara di India, harga CPO yang relatif murah berpotensi membuat India menaikkan konsumsinya.

Selain itu, kebijakan terbaru senat Amerika Serikat juga dinilai bisa jadi katalis positif untuk harga CPO. Pasalnya, senat AS baru saja meloloskan kebijakan insentif pajak, serta program kebijakan senilai US$ 500 juta untuk memperkuat infrastruktur biofuel. Artinya ada potensi kenaikan permintaan CPO yang menjadi salah satu satu bahan baku biofuel. 

“Jadi, jika demand dari China dan India meningkat, maka ada potensi harga CPO kembali rebound dan mendongkrak kinerja AALI ke depan,” kata Felix.

Di satu sisi, Felix meyakini, harga bahan produksi yang melandai disebabkan dinginnya harga komoditas akhir-akhir ini juga bisa meringankan beban AALI. Pasalnya, hingga semester I-2022, AALI mengalami kenaikan biaya produksi hingga 16,1% secara yoy, yang pada akhirnya membuat marjin laba kotor turun menjadi 16,6% dari sebelumnya 20,4% pada semester I-2022.

Desy menambahkan, selain soal kebijakan. adanya perubahan biodiesel menjadi B35 turut menjadi sentimen yang bisa mendorong peningkatan permintaan CPO. Di samping itu, faktor cuaca dan peningkatan aktivitas replanting juga menjadi kunci produktivitas AALI ke depannya. 

Sedangkan analis DBS Vicker Sekuritas William Simadiputra dalam risetnya pada 29 Juli menuliskan, pada paruh kedua tahun ini, volume penjualan AALI diperkirakan cenderung lebih lemah serta penjualan yang berpotensi lebih rendah dibandingkan semester I-2022.

Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham CPO di Tengah Peluncuran Sejumlah Kebijakan Pemerintah

Oleh sebab itu, ruang bagi AALI untuk mendongkrak kinerjanya di sisa tahun ini cenderung lebih kecil, meskipun harga CPO domestik mengalami rebound.

Selain itu, pada paruh kedua tahun ini, William melihat akan ada potensi volume penjualan lebih tinggi dan prospek rebound harga jual CPO setelah pencabutan dari larangan ekspor. 

“Namun, AALI justru akan lebih bergantung pada pasokan buah plasma dan konsumsi pupuk yang dibutuhkan untuk menjaga produktivitas. Ini berpotensi membuat pendapatan AALI pada semester II-2022 akan lebih rendah dibandingkan semester I-2022,” imbuh William.

Meskipun harga penjualan CPO di paruh pertama tahun ini jauh lebih tinggi dari perkiraan, nyatanya AALI hanya membukukan 30% dari proyeksi laba DBS Vicker Sekuritas untuk tahun ini.

Oleh karena itu, William pun memangkas proyeksi laba AALI sebesar 34% menjadi Rp 1,7 triliun. Sementara untuk pendapatan, AALI diperkirakan akan membukukan Rp 24,20 triliun.

 
AALI Chart by TradingView

Sementara jika dilihat dari sisi fundamental, Desy menyebut AALI merupakan market leader di industrinya dan punya dukungan parent support yang kuat. Hal ini pada akhirnya membuat AALI punya struktur permodalannya yang kuat sehingga bisa mendukung aktivitas ekspansi melalui  kas internal.

Sedangkan Felix menilai, AALI sebagai emiten sawit yang punya market cap terbesar di Indonesia, membuatnya memiliki likuiditas yang baik. Selain itu, dengan PBV-nya yang ada di level 0,8x membuat valuasi AALI saat ini cukup murah. 

Baca Juga: Produksi TBS dan CPO Astra Agro Lestari (AALI) Menurun, Ini Faktor Penyebabnya

“Untuk rekomendasi, sebenarnya kami memasang hold dengan target harga Rp 13.350 per saham karena saat itu harga AALI berada di Rp 11.500. Namun, dengan harga AALI saat ini yang di Rp 9.525, maka ada potensi upside 40% dari target harga kami, yang mana ini cukup menarik,” terang Felix.

Sementara Desy meyakini AALI masih cukup menarik untuk dikoleksi sehingga merekomendasikan beli dengan target harga Rp 12.800. Sedangkan William memberi rating hold untuk saham AALI dengan target harga Rp 9.500 per saham. 

Menurutnya, target harga tersebut  mencerminkan profitabilitas jangka panjang AALI yang berpotensi menyusut mengingat tren penurunan hasil CPO inti karena pohon yang menua. 

“Dengan demikian, untuk memaksimalkan tingkat utilisasi pabrik, AALI akan sangat bergantung pada pembelian TBS eksternal yang membuat profitabilitas jauh lebih rendah,” pungkas William.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli