Outlook Bauksit 2026: Masih Minim Smelter dan HPM Rendah
Senin, 29 Desember 2025 20:04 WIB Oleh: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja industri bauksit di Indonesia diperkirakan masih akan bergantung dengan seberapa cepat negara ini bisa melakukan hiliriasi. Yaitu mengubah bauksit menjadi alumina, kemudian mengubah alumina menjadi aluminium hingga dapat diterima oleh pasar. Usai Indonesia melakukan larangan ekspor bijih bauksit sejak 2023 melalui diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pergerakan hulu bauksit bergantung pada seberapa besar kesiapan pasar menyerap produk akhir. Menurut Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI), satu smelter bauksit di Indonesia dapat menyerap 1 juta ton bijih bauksit yang dapat menghasilkan 400-500 ton alumina. Artinya 4-5 ton bauksit dapat menghasilkan 2 juta ton alumina. Baca Juga: Kinerja Sektor Minerba Tahun 2026 Masih Tertekan Harga Global, PNBP Diramal Stagnan Dengan melihat smelter bauksit yang dapat menghasilkan alumina sekarang, ABI menilai hanya ada kapasitas untuk 10 juta ton bijih bauksit agar dapat menghasilkan minimal 4 juta ton alumina. "Jadi targetnya paling tidak harus bisa menghasilkan kira-kira sekitar 4 juta ton alumina. Nah, totalnya tidak boleh produksi bauksit itu melebihi dari kapasitas (smelter) yang ada," ungkap Ketua Umum ABI Ronald Sulisyanto kepada Kontan, Senin (29/12/2025). Sebagai gambaran, di Indonesia, smelter alumina (bauksit menjadi alumina) yang sudah beroperasi antara lain PT Indonesia Chemical Alumina (ICA), PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), dan PT Bintan Alumina Indonesia (BAI), dengan Borneo Alumina Indonesia (BAI) di Mempawah (Kalbar). Ronald kemudian mengungkap tantangan lain yang saat ini dihadapi industri hulu bauksit. Ia menyebut saat ini banyak penambang yang memperhitungkan ulang untuk melakukan proses penambangan. Hal ini disebabkan adanya peraturan Harga Patokan Mineral (HPM) baru yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM. "Penambangannya kan juga terbatas. Karena bagi kita asosiasi bauksit, itu untuk meningkatkan produksi menjadi lebih tinggi itu juga tidak mudah. Harus pelan tapi pasti. Nah sekarang itu kan kendala utamanya adalah HPM," tambah dia. Adapun, saat ini ketentuan HPM diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) 72.K/MB.01/MEM.B/2025 adalah aturan penetapan harga patokan mineral (HPM) dan harga patokan batubara (HPB). Baca Juga: Ekspor Indonesia Diproyeksi Melambat pada Tahun 2026 Kemudian di revisi dengan keluarnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 268. K/MB.01/MEM.B/2025 mengubah peraturan Harga Patokan Mineral (HPM) menjadi dasar penghitungan royalti dan pajak, bukan sebagai acuan harga jual transaksi yang harus mengikuti mekanisme pasar. Penambang kini dapat menjual mineral di bawah HPM sesuai kesepakatan pasar, namun tetap wajib membayar kewajiban finansial (royalti dan pajak) berdasarkan HPM yang telah ditetapkan. "Kalau seperti ini, penampang yang enggak kuat modalnya dan dia juga tidak bisa mendapatkan keuntungan yang memadai ya dari HPM, dia enggak akan pilih produksi," kata Ronald. Dari total 70 perusahaan tambang anggota ABI, Ronald bilang hanya ada 30 perusahaan yang melanjutkan untuk memiliki RKAB. Penambahan smelter bauksit ungkap dia juga harus dibarengi dengan penyesuaian harga HPM. "Tapi good mining practice itu perlu dana. Dan kalau itu dananya tipis, risikonya besar. Karena ya nambang, namanya nambang, ada side effect-nya, ada aja problem-problem lain," kata dia. Menurutnya, seharusnya HPM dalam keputusan yang lama tetap dipertahankan, jangan dikeluarkan aturan baru lagi. "Ketidakadilan di sini, kalau boleh (dijual) di bawah HPM, refinery banyak yang mengajukan di bawah (HPM)," ungkap Ronald. Penambang, lanjut Ronald tidak punya pilihan karena pabrik refinery bauksit saat ini lebih sedikit dari jumlah penambang. Penjualan HPM, justru membuat penambang tidak punya daya tawar di hadapan industri mid-steram bauksit. Baca Juga: APNI Targetkan Kenaikan Harga Nikel Lewat Pemangkasan Produksi RKAB 2026 "Dia (refinery) pasti merevisi kontrak, karena diperbolehkan beli di bawah (HPM)," ungkapnya. Sebagai gambaran, mengutip data dari Kementerian ESDM, per tahun 2020 (dilaporkan pada 2021-2022), cadangan bauksit Indonesia mencakup sekitar 1,2 hingga 3,2 miliar ton bijih, menempatkan Indonesia sebagai pemilik cadangan terbesar keenam di dunia, dengan sebagian besar terpusat di Kalimantan Barat. Sedangkan kebutuhan aluminium di dalam negeri tercatat terus mengalami peningkatan. Tahun ini, kebutuhan aluminium nasional Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 1 juta ton per tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News