KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang lndonesia dalam tiga tahun terakhir mengalami pertumbuhan cukup pesat. Total utang Negara Indonesia setidaknya telah mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Riza Annisa Pujarama mengatakan, total
outstanding tersebut terdiri dari total utang pemerintah dan swasta. Di mana utang pemerintah untuk membiayai defisit anggaran, sedangkan utang swasta dilakukan oleh korporasi swasta dan BUMN. Utang pemerintah melonjak dari Rp 3.165,13 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp 3.466,96 triliun pada tahun 2017. Peningkatan utang tersebut diklaim karena kebutuhan belanja infrastruktur yang menjadi prioritas kerja pemerintahan Presiden Jokowi.
"Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 bulan Februari menembus angka Rp 4.034,8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun," ujarnya saat konferensi pers, Rabu (21/3). Komponen utang pemerintah, salah satunya adalah Surat Berharga Negara (SBN). Jika menelisik data
outstanding SBN posisi September 2017 sudah mencapai Rp 3.128 triliun, terdiri SBN denominasi rupiah Rp 2.279 triliun, dan dalam denominasi valas US$ 849 triliun. Sementara posisi Utang Luar Negeri Pemerintah 2017 telah mencapai US$ 177 miliar dengan kurs 13.500 menjadi sekitar Rp 2.389 triliun. Riza melanjutkan, utang luar negeri swasta tahun 2017 sebesar US$ 172 miliar dengan kurs Rp 13.500 menjadi sekitar Rp 2.322 triliun, namun data tersebut besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN. Harus ditopang utang baru "Pemerintah menggeser dominasi utang luar negeri menjadi utang dalam negeri melalui penerbitan SBN. karena, SBN yang dimiliki asing mendominasi sejak 2014 dan terus berlanjut hingga Juni 2017 yang mencapai 39,5% dari total SBN. Hal ini perlu diwaspadai karena rentan jika terjadi capital
outflow akan sangat berisiko bagi stabilitas perekonomian," tambahnya. Riza menjelaskan, dengan Utang bertambah, keuangan pemerintah justru semakin tekor. Hal ini dapat dilihat dari dua indikator utang yang biasa dipakai, yaitu rasio keseimbangan primer terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada APBN 2017 sebesar minus 1,31%. "Hal ini menunjukkan
cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang harus ditopang oleh utang baru," imbuhnya. Dengan demikian, indikator rasio utang pemerintah dalam status waspada. Hal ini terlihat dari rasio utang terhadap PDB tahun 2017 sebesar 28,9%.
Rasio beban kewajiban utang terhadap penerimaan Pajak tahun 2017 telah mencapai 34,8%, dan terhadap Total Pendapatan Pemerintah telah mencapai 29,5%. Menurutnya, memang masih dalam batas wajar rasio tersebut menurut Penjelasan Pasal 12 ayat 3 UU No 17 Tahun 2003 tetang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3% dan utang maksimal 60% dari PDB. "Namun, suku bunga utang pemerintah lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat beban pembayaran kewajiban utang sudah sangat tinggi. Konsekuensinya justru semakin menggaruk kemampuan ruang fiskal pemerintah guna mendorong stimulus fiskal. Apalagi jika
tax ratio justru semakin menurun," tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia