Overcapacity Tidak Membuat Harga Listrik Lebih Murah, Ini Penjelasan Kementerian ESDM



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini Indonesia mengalami kelebihan daya atau oversupply kapasitas pembangkit listrik di sistem Jawa-Bali. Namun kondisi surplus listrik ini justru tidak berdampak layaknya hukum ekonomi pada umumnya di mana ketika sebuah produk melimpah ruah di pasar akan berdampak pada turunnya harga. 

Namun di tengah kondisi oversupply listrik ini pada Juli 2022, PT PLN melakukan penyesuaian tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga mampu non subsidi golongan 3.500 VA ke atas (R2 dan R3) dan golongan pemerintah (P1, P2, dan P3). 

Direktur Aneka Energi dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna menjelaskan kontrak listrik yang dipakai oleh PLN adalah take or pay sehingga ini menjadi beban bagi perusahaan setrum pelat merah ini di saat kondisi oversupply


“Lewat kondisi ini, mungkin hukum ekonomi yang biasanya oversupply harusnya jadi lebih murah menjadi tidak berlaku,” jelasnya dalam acara webinar bertajuk “Kesiapan Energi Terbarukan & Nuklir: Mendukung Pencapaian Net Zero Emission” pada Senin (24/10). 

Baca Juga: Agar Tak Ada Ekspor Listrik ke PLN, PLTS Atap Bisa Dibatasi Berdasarkan Beban Minimum

Di sisi lain, Feby menjelaskan, tarif listrik saat ini kalau diagregatkan harganya masih jauh dari besaran Biaya Pokok Penyediaan (BPP) yang sejatinya dibantu oleh pemerintah melalui kompensasi yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Faktor lainnya ialah, harga listrik juga sudah cukup lama tidak dilakukan penyesuaian (adjusment). 

Feby memaparkan, lewat keputusan penyesuaian harga yang dilakukan di pertengahan tahun ini diharapkan kondisi keuangan PLN bisa lebih baik dan kemudian dari sisi APBN yang harus menanggung kompensasi atau biaya penggantian bisa dikurangi. 

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Agus Puji Prasetyono menambahkan berbicara soal harga listrik murah atau mahal tergantung pada kemampuan seseorang untuk membayar listrik atau tidak. 

“Katakanlah kalau gajinya kecil harga listrik akan terasa mahal, kalau gajinya besar harga listrik akan kelihatan murah,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. 

Menurutnya harga listrik juga sejalan dengan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB), adapun GDP juga bisa mengikuti harga listrik apabila permintaannya ada. 

“Sementara pertumbuhan konsumsi listrik hanya 1.000 kilowatt jam (KWH)  per kapita per tahun dan sudah sejak lama tidak tumbuh. Artinya pemanfaatan listrik di dunia industri tidak tumbuh dengan baik,” jelasnya. 

Agus menjelaskan lebih lanjut, ada tiga tahapan yang dapat mendorong kemajuan negara yakni melalui resource driven atau menjual sumber daya alam, efficiency driven, dan inovation driven

Melalaui inovation driven, bahan mentah akan diolah menjadi bahan jadi sehingga tercipta nilai tambah. Pada prosesnya terjadi reverse engineering yang akan berdampak pada meningkatnya permintaan energi. Sejalan dengan itu Agus optimistis pendapatan perkapita Indonesia akan meningkat. 

Baca Juga: PLN Berencana Susun Roadmap Pensiun Dini PLTU Hingga 3,5 GW

Agus memberikan gambaran, konsumsi energi saat ini berada di level 1.000 KWH per kapita per tahun pada saat pendapatan di kisaran US$ 4.000 per kapita per tahun. Lewat target pemerintah yang akan membidik kenaikan 3 kali lipat pada 12 tahun mendatang atau 2035, maka Indonesia akan mencapai pendapatan US$ 12.000 per kapita. Lewat target ini maka konsumsi energi juga akan tumbuh 3 kali lipat menjadi 3.000 KWH per kapita per tahun. 

“Naiknya GDP dan konsumsi energi hingga tiga kali lipat maka pembangkit yang saat ini sebesar 60 GW akan meningkat hingga 180 GW. Pembangkit yang harus ditambah juga harus naik signifikan,” jelasnya. 

Agus menyatakan, naiknya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia, akan meningkatkan daya beli konsumsi listrik sehingga dia melihat nantinya bayar listrik akan terasa lebih murah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .