Pabrik Lotte Chemical molor



JAKARTA. Kabar kurang sedap datang dari industri petrokimia. Di masa mendatang, Indonesia harus tetap bergantung terhadap impor petrokimia. Penyebabnya, rencana investasi besar dari Lotte Chemical belum ada kejelasan.

Seharusnya, pabrik petrokimia yang didirikan oleh perusahaan asal Korea Selatan itu mulai konstruksi pada awal 2014. Tetapi, sampai saat ini, Lotte masih berunding dengan PT Krakatau Steel soal lahan. "Masih berunding soal harga karena beberapa angka ada perubahan," kata MS Hidayat, Menteri Perindustrian, akhir pekan lalu.

Sekitar dua tahun lalu, Lotte Chemical Group melalui PT Lotte Chemical Titan Tbk membuat feasibility study untuk membangun kompleks industri petrokimia di Cilegon. Namun, waktu berlalu tanpa ada kemajuan yang berarti karena ternyata lahan sulit didapat dan beberapa masalah internal yang harus mereka urus.


Nah setelah dua tahun berlalu, budget untuk pembelian tanah tersebut sudah tidak sesuai dengan harga lahan saat ini. Sehingga, mesti ada penyesuaian harga lagi antara kedua belah pihak.

Untuk merealisasikan rencana pembangunan pabrik, emiten dengan kode FPNI ini akan menggunakan lahan milik PT Krakatau Steel yang lokasinya bersebelahan dengan tanah milik FPNI. Untuk membangun pabrik itu, Lotte membutuhkan areal lahan seluas 100 hektare (ha). Saat ini, FPNI baru memiliki lahan seluas 40 ha. Dus, mereka membutuhkan lahan milik PT Krakatau Steel seluas 60 ha.

Karena itu, Hidayat menganjurkan Lotte Chemical untuk berkonsultasi juga dengan beberapa pihak lain di Indonesia soal harga tanah. Sehingga, investasi sebesar US$ 5 miliar ini bisa segera menjadi kenyataan.

Tak perlu impor lagi

Bukan cuma soal besarnya nilai uang yang masuk, Hidayat pun menegaskan, pabrik tersebut mampu memperbaiki neraca perdagangan petrokimia dalam negeri. Pasalnya, saat ini rata-rata hampir separuh permintaan produk petrokimia masih harus didatangkan dari luar negeri.

Tahun lalu, sampai September, nilai impor Petrokimia mencapai US$ 16 miliar. Sedangkan ekspor Petrokimia hanya US$ 6 miliar. Ini berarti, ada defisit perdagangan sebesar US$ 10 miliar.

Dengan proyeksi kenaikan permintaan produk petrokimia 10% setiap tahunnya, Indonesia membutuhkan banyak pasokan petrokimia untuk menutup keran impor. Jika tidak ada pasokan, jumlah impor petrokimia semakin meluber.

Meski meleset dari target, Hidayat bilang, Lotte berjanji untuk merealisasikan investasi pabrik petrokimia. "Itu yang kita kejar," kata Hidayat. Buat Lotte, ini adalah kesempatan emas untuk menggeber pendapatan perusahaan.

Melihat laporan keuangan Lotte Chemical Titan, periode Januari-September 2013, pendapatan perusahaan itu naik 4,5% secara year on year menjadi US$ 437,2 juta. Tahun lalu, Lotte Chemical Titan menargetkan pendapatan naik 5,2% dari 2012 menjadi sekitar US$ 600 juta.

Berdasarkan road map Kementerian Perindustrian (Kemperin), perkiraan nilai investasi petrokimia periode 2013-2018 mencapai US$ 8 miliar. Selain Lotte Chemical Group, setidaknya ada enam perusahaan yang tertarik untuk investasi petrokimia.

Adapun enam perusahaan itu di antaranya adalah PT Ferrostaal Indonesia di Papua Barat yang akan memproduksi methanol dan poliporilena dengan nilai investasi US$ 1,8 miliar. Lalu ada PT Petrokimia Butadiene Indonesia dan PT Nippon Sokubai di Cilegon. Masing-masing nilai investasinya sekitar US$ 145 juta dan US$ 332 juta.

Ada juga PT Indorama Polychem yang berencana mendirikan pabrik serat sintesis dengan nilai investasi sebesar US$ 185 juta. Terakhir adalah PT Amoco Mitsui dan PT Asahimas Chemical dengan masing-masing nilai investasi sebanyak US$ 150 juta dan US$ 400 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan