Pabrik serat dan benang gulung tikar



KONTAN.CO.ID - PURWAKARTA. Industri serat dan benang ketar-ketir menghadapi gempuran produk impor. Lantaran kalah bersaing, industri dalam negeri kewalahan sehingga beberapa pabrik tercatat gulung tikar.

Dengan kondisi ini, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengeluhkan Permendag Nomor 64/2017. Aturan tersebut menjadi salah satu pendorong lonjakan impor produk serat dan benang.

Pasalnya, trader diperbolehkan mengimpor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Aturan sebelumnya, yakni Permendag Nomor 85/2016, hanya produsen yang boleh mengimpor. Sementara trader tak boleh mengimpor untuk kategori produk tertentu, terutama kain.


Ketua Umum APSyFI, Ravi Shankar membenarkan hal tersebut. Dia bilang, membanjirnya produk impor membuat beberapa pabrik serat dan benang ditutup. Dia mengakui, kebutuhan untuk semua jenis serat dan benang mampu dipenuhi oleh industri dalam negeri, kecuali kapas.

Bahan dasar kapas masih belum dapat diproduksi di Indonesia sehingga membutuhkan impor dari China. "Tapi karena kalah bersaing (dengan produk impor). Akhirnya banyak yang gulung tikar," ungkap Ravi di Purwakarta, Rabu (19/9).

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta menilai, persaingan dengan produk impor menjadi fair ketika pemain lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri atau industri dalam negeri tidak dapat memproduksi produk tersebut. "Namun, apa yang terjadi saat ini tidak demikian. Meskipun suplai semua terpenuhi, produk impor tetap masuk," tegas dia.

Berdasarkan catatan APSyFI, untuk industri hilir atau pakaian jadi, kapasitas produksi dalam negeri mencapai 2,7 juta ton. Sementara kebutuhan garmen dalam negeri mencapai 2,4 juta ton, termasuk ekspor yang jumlahnya sebanyak 600.000 ton.

Nah, saat ini impor garmen mencapai 800.000 ton. Artinya, produksi dalam negeri yang terserap di pasar lokal hanya 1,6 juta ton. "Jadi, banyak kain yang menganggur," tukas Redma.

Asal tahu saja, pada tahun 2008 lalu, impor garmen diperbolehkan lantaran dianggap bisa meningkatkan kapasitas ekspor industri lokal. Menurut Redma, saat itu impor garmen hanya sebesar 300.000 ton, sementara volume ekspornya lebih besar, yakni 500.000 ton. "Nah saat ini, impor 800.000 ton, sementara ekspornya cuma 600.000 ton, itu sisanya yang masuk ke pasar lokal," terang dia.

Akibat tak mampu bersaing dengan produk impor, surplus neraca perdagangan sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) menyusut menjadi sekitar US$ 3 miliar–US$ 4 miliar. Padahal pada 2008-2009, TPT mampu surplus hingga US$ 7 miliar hingga US$ 8 miliar. Atas hal itu, APSyFI menempuh sejumlah langkah demi memperjuangkan nasib industri dari hulu ke hilir. Misalnya mengajukan kebijakan anti dumping.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati