Pahlawan Ekonomi Syariah



KONTAN.CO.ID - Setiap tanggal 10 November, sebagai bangsa Indonesia, kita selalu diingatkan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional. Kalau kita berkaca kepada sejarah, maka sifat kepahlawanan seseorang tercermin pada kesetiaan, ketulusan, dan keberanian anak-anak bangsa dalam menumpas para penjajah. Tujuannya: mencapai Indonesia merdeka. Curahan tenaga dan pikiran pahlawan pada saat itu terbukti mampu membebaskan Indonesia dari berbagai bentuk dominasi bangsa-bangsa asing yang bermental eksploitasi dan opresif.

Namun, dalam konteks berkembangnya ekonomi syariah di Indonesia, pahlawan perlu mendapat makna yang lebih luas. Kata pahlawan harus dikontekstualkan pada perjuangan membangkitkan ekonomi syariah. Artinya, pahlawan dimaknai individu atau kelompok, baik dari kalangan masyarakat umum maupun penguasa negeri yang setia, tulus, dan berani melambungkan ekonomi syariah ke puncak kejayaan.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa ekonomi syariah sebagai proyek Islamisasi ilmu pengetahuan di abad ke-21 telah menunjukkan perkembangan yang sangat menakjubkan. Pada tataran teoritis, berbagai literatur, baik dalam bentuk buku, jurnal, pamflet, artikel, maupun bentuk lainnya, turut mendewasakan disiplin yang masih terbilang bayi ini.


Pada tingkat praktis, aneka lembaga keuangan syariah dengan berbagai bentuknya juga ikut menjadi saksi sejarah pertumbuhan keuangan berbasis Islam tersebut. Pada level institusi pendidikan, bermacam-macam lembaga pendidikan tinggi berlomba-lomba membuka program studi ekonomi dan keuangan Islam guna mengorbitkan sistem alternatif itu. Pendeknya, ekonomi syariah dipeluk oleh banyak peminat dari berbagai ranah.

Tetapi sayang sekali, menurut pengamatan penulis, para pegiat ekonomi syariah terutama di Indonesia hampir tidak menaruh perhatian pada persoalan ekonomi bangsa ini. Mereka seakan-akan tidak menyadari bahwa Tanah Air yang mereka tempati, pelan tapi pasti sedang dikuasai oleh bangsa-bangsa asing.

Dalam konteks perekonomian Indonesia, sumber daya mineral minyak dan gas bumi (migas) masih didominasi dan dikuasai asing. Bangsa asing terutama Amerika Serikat (AS) sangat menguasai sumber daya alam yakni sumber daya yang merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan perusahaan di seluruh dunia untuk menghasilkan barang dan jasa. Hal ini menunjukkan, Indonesia masih belum menjadi tuan di negeri sendiri. Upaya mengundang investasi asing belum mampu menjadikan Indonesia sebagai pengendali utama sumber daya yang seharusnya menjadi hak penduduk negeri ini.

Sekadar contoh, sebagaimana yang dikabarkan media massa akhir-akhir ini, bahwa Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat sebanyak 11 pulau kecil di sejumlah kepulauan di Tanah Air telah dikelola swasta asing. Nilai investasi yang ditanamkan tidak sedikit, yaitu mencapai Rp 11,046 triliun.

Direktur Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menjelaskan, ke-11 pulau kecil itu tersebar di Kepulauan Riau (Kepri), Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kepulauan Seribu (Jakarta), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kabupaten Pandeglang (Banten).

Pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita ajukan terkait masalah ini adalah: Apakah para pegiat ekonomi syariah di Indonesia memperjuangkan sumber daya-sumber daya ekonomi yang sekarang sedang dijajah oleh orang-orang asing tersebut? Jawabannya tentu saja ialah: tidak.

Pertanyaan lainnya yang kita patut kemukakan: Apakah para eksponen ekonomi syariah di negeri ini malah asyik mengembangkan teori-teori akad untuk lembaga keuangan syariah? Jawabannya adalah: iya. Di sinilah kita menyaksikan lonceng kematian ekonomi syariah sebagai ekonomi pembebasan sedang berbunyi. Ekonomi syariah tidak punya daya dobrak dan daya lawan atas ketidakadilan ekonomi yang terjadi di bumi Nusantara.

Daya bebas ekonomi syariah semakin terlihat lunglai ketika ekonom-ekonom syariah mempertahankan pemahaman ahistoris, bukan historis. Selama ini, pemahaman kita mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam Al-Quran cenderung sangat bersifat ahistoris. Padahal maksud Al-Quran menceritakan kisah-kisah tersebut adalah, justru menyuruh kita untuk berpikir historis.

Kita ambil contoh tentang bangsa Israel yang tertindas pada zaman Fir'aun, yang sering kita pahami pada konteks zaman itu. Kita tidak pernah berpikir bahwa apa yang disebut kaum tertindas itu sebenarnya ada di sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial. Pada zaman feodalisme, kapitalisme, dan sosialisme, selalu terdapat apa yang disebut kaum mustadhafin (kaum tertindas). Oleh karena itu, sesungguhnya kita harus menjelaskan, siapakah golongan berapa pada posisi tertindas itu dalam sejarah. Termasuk saat sekarang, yaitu pada sistem sosial ekonomi yang memungkinkan terjadinya penguasaan sumber-sumber ekonomi di tangan segelintir elite.

Tamsil lainnya, misalnya, adalah di dalam sebuah ayat kita diperintahkan untuk membebaskan mereka yang terbelenggu. Dengan cara berpikir historis, kita bisa mengidentifikasi, siapakah yang dimaksud sebagai golongan yang terbelenggu itu di dalam sistem ekonomi kita saat ini.

Ekonomi membebaskan

Dalam hal ini, saya sangat setuju dengan pandangan Asghar Ali Engineer, intelektual asal India dalam tulisannya berjudul Islamic Economics: Progressive Perspective dalam Jomo K.S (ed) Islamic Economics Alternatives: Critical Perspectives and New Directions, yang memahami konsep riba dengan tepat sekali sebagaimana yang dilarang Al-Quran.

Menurut Engineer, konsep riba sangatlah penting, tetapi kurang dipahami secara baik. Riba bukan sekadar tidak menerapkan bunga dalam perbankan yang kemudian menggantinya dengan sistem profit and loss sharing atau bagi hasil baik untung maupun rugi.

Pelarangan riba yang merupakan ruh ekonomi syariah harus dipahami sebagai tindakan eksploitasi dan bukan semata-mata tingkat bunga tetap. Tujuan hakiki pelarangan riba dalam ekonomi syariah tidak bisa diwujudkan tanpa menghapus eksploitasi dalam segala bentuknya.

Seringnya pelaksanaan festival dan seminar ekonomi syariah di berbagai tempat di negeri ini hampir tidak pernah menyinggung persoalan utang bangsa yang makin menggunung. Para pegiat ekonomi syariah hanya asyik memperbincangkan pasar modal, perbankan, atau hotel syariah, misalnya. Masihkah eksponen ekonomi syariah di Nusantara enggan menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa melalui ekonomi syariah yang membebaskan?

Penulis : Ahmad Ubaidillah

Dosen Ekonomi Syariah di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti