Pada pertemuan bertajuk G-20 Ministerial Symposium on International Taxation yang dilangsungkan di Fukuoka Jepang, pemajakan ekonomi digital menjadi salah satu topik penting yang dibahas. Memang, topik ini tidak mengejutkan, karena sudah dijadwalkan sebelumnya dan menjadi bagian dari agenda untuk mencari solusi bersama di antara negara-negara G-20 dalam memajaki ekonomi digital. Sejatinya, pada 2020 nanti
Task Force for Digital Economy (TFDE) ditargetkan telah selesai merumuskan formulasi solusi pemajakan ekonomi digital secara konsensus. Lalu bagaimana ekonomi digital yang eksklusif ini bakal direngkuh oleh sistem perpajakan global? Pertemuan Menteri Keuangan di G-20 ini sangat krusial karena konsensus yang dihasilkan akan menjadi landasan dalam menyusun dasar pemajakan ekonomi digital ke depannya. Sayangnya, untuk mencapai kata sepakat bukanlah sesuatu yang mudah. Sebagaimana juga terjadi di pertemuan-pertemuan sebelumnya, tarik-menarik kepentingan antara negara yang menjadi produsen
digital products dan negara yang menjadi konsumen
digital products tak terhindarkan. Amerika Serikat (AS) dan China misalnya, meski keduanya sedang melakukan perang dagang, namun terkait regulasi perpajakan ekonomi digital, kedua negara memiliki pandangan yang sama. Maklum, kedua negara tersebut adalah negara asal dari sebagian besar produsen
digital products. Dikotomi negara konsumen dan negara produsen inilah yang menjadi akar sulitnya mencapai kata konsensus. Ini hanya menegaskan apa yang pernah dikatakan
The Economist, dalam konteks geopolitik isu pemajakan ekonomi digital hanyalahÂ
geopolitical envy, kecemburuan negara konsumen atas majunya industri digital negara produsen. Negara-negara Eropa yang agresif dalam isu pemajakan ekonomi digital misalnya, perkembangan ekonomi digitalnya lebih lambat dibandingkan AS dan Asia Pasifik. Kecurigaan pun berlanjut, isu pemajakan ekonomi digital hanyalah bagian dari digital
protectionism, yang tidak berbeda dengan
trade protectionism, akan mengarah pada proteksionisme perdagangan namun dalam konteks perdagangan
digital products. Kepentingan politik menjadi bias dalam menentukan arah kebijakan ekonomi digital. Prancis contohnya, Emmanuel Macron yang memiliki pandangan ekonomi liberal, .justru membawa Prancis menjadi negara yang agresif dalam memajaki ekonomi digital. Ini tak dapat dilepaskan dari tekanan politik domestik, antara lain oleh kelompok Yellow Vest dan kubu ultra-kanan. Hal ini dikonfirmasi Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire, di pertemuan G-20 pun mengakui opsi
Digital Service Tax (DST) yang diambil oleh Prancis bukanlah opsi terbaik. Inggris yang lebih dulu agresif memajaki ekonomi digital juga mempunyai konteks politik domestik yang dinamis, terutama pasca-Brexit. Tak hanya secara politis, secara administrasi pilihan yang tersedia pun sulit diimplementasikan. Hal tersebut dapat kita lihat dari dokumen
OECD Public Commentary - Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy 2019 yang dirilis sebelumnya. Dengan mengubah prinsip dasar perpajakan internasional yang ada, beberapa opsi ini meningkatkan risiko pengenaan pajak berganda dan dispute antar yurisdiksi. Ini bukanlah hal sepele karena secara tak langsung dapat mengancam investasi multinasional, mobilitas permodalan, dan perkembangan sektor ekonomi digital itu sendiri. Marlies de Ruitter, mantan Head of The Tax Treaty dan Transfer Pricing OECD, melukiskan dengan apik peliknya masalah administrasi pemajakan ekonomi digital sebagai obat lebih buruk dibanding penyakitnya (
the cure is worse than the disease). Melihat posisi Indonesia Lantas, di tengah simpang siur ini, di manakah posisi Indonesia seharusnya? Sebelum bertolak lebih jauh, pemerintah harus merumuskan tujuan yang jelas dalam memajaki ekonomi digital, apakah ingin mendapatkan penerimaan negara yang sebesar-besarnya atau membangun sistem perpajakan yang ideal? Meski optimalisasi penerimaan secara politik akan menguntungkan Indonesia, namun opsi tersebut belum tentu menjadi opsi terbaik bagi sistem perpajakan yang ideal. Sistem perpajakan yang ideal harus memenuhi unsur keadilan, bukan mementingkan semata-mata penerimaan negara. Inilah ciri pedang bermata dua sistem perpajakan yang harus diwaspadai. Contohnya pengenaan DST dalam proposal Uni Eropa yang isu tersebut pernah disinggung oleh Marlies de Ruitter dalam proposal Uni Eropa. Menurutnya, pertimbangan negara-negara memilih opsi itu hanyalah penerimaan negara saja dan bukan untuk mencari sistem perpajakan yang berkeadilan bagi ekonomi digital. Untuk itu, kita harus kembali ke prinsip dasar filsafat hukum pajak, yakni pajak yang adil diarahkan ke
bonum communae (kepentingan bersama). Dalam konteks ini, opsi yang dipilih haruslah bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak (global), dan bukan untuk beberapa negara tertentu saja atau partikular-kolektif. Dengan demikian, untuk mencapai keadilan, maka kepentingan partikular-kolektif (negara eksportir atau importir dan kepentingan penerimaan) harus ditempatkan di bawah kepentingan bersama. Dengan demikian Indonesia sebagai negara berkembang dan juga negara konsumen
digital products dapat menjadi contoh bagi negara lainnya untuk meninggalkan kepentingan partikular dalam memilih opsi terbaik. Industri kreatif Indonesia yang berkembang pesat banyak memanfaatkan sarana digital. Jika kita sekarang konsumen, bisa jadi kelak akan menjadi negara produsen. Artinya, memilih kepentingan partikular pun pada akhirnya belum tentu menguntungkan bagi Indonesia. Sebagai solusi, jika dihadapkan untuk memilih di antara opsi yang ada, baik dalam pillar 1 atau pillar 2 dalam skema OECD, maka yang menjadi titik acuan kita adalah tidak boleh adanya
ring fencing, yang dengan tegas ditolak OECD.
Ring fencing adalah pembatasan sektoral yang tak sesuai dengan konsep ekonomi digital yang dinamis sehingga otoritas harus mendefinisikan dan menjabarkan secara rutin entitas mana saja yang masuk ke dalam perusahaan digital.
Hal ini tentu sangat menyulitkan, selain akan menimbulkan potensi dispute dan ketidakpastian usaha. Perlu disadari, selama melakukan ring fencing kita masih berada pada dikotomi negara eksportir dan importir produk digital. Oleh karena itu, yang seharusnya menjadi opsi bagi pemerintah adalah opsi
marketing intangible. Opsi ini adil mengingat yang dicurigai melakukan
treaty abuse bukan hanya perusahaan digital saja, melainkan juga perusahaan konvensional, termasuk yang masuk digitalisasi. Atas pertimbangan ini, pemerintah seharusnya tak lagi menjadikan
significant economic presence sebagai opsi, mengingat opsi ini jelas melakukan
ring fencing. Berbeda dengan klaim pemerintah, omzet yang dihasilkan pada suatu yurisdiksi saja tak cukup untuk menentukan perusahaan non-residen ini telah memiliki
significant economic presence.♦
Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Jakarta Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi