JAKARTA. Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mengusulkan penerapan pajak transaksi online berdasarkan bentuk e-commerce. Daniel Tumiwa, Ketua Umum idEA mengatakan, e-commerce terbagi menjadi beberapa model bisnis. Dengan demikian, lanjut dia, perlakuan pajak yang diterapkan tentu berbeda. “Misalnya pada model ritel online, yang mana semua stok barang diatur oleh pemilik situs, maka pengenaan PPN dan penyetorannya dilakukan oleh pemilik situs tersebut,” kata Daniel dalam keterangan resminya, Kamis (31/3).
Berbeda dengan marketplace yang hanya menyediakan tempat usaha untuk para pedagang yang berjualan di situs mereka. “Seharusnya pungutan dan penyetoran PPN dilakukan oleh para pedagang tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi di pusat perbelanjaan seperti mall atau di pasar Tanah Abang. Tentunya hanya pedagang dengan omzet tertentu yang memiliki PKP dan berkewajiban memungut PPN,” ujar Daniel. Beda lagi dengan iklan baris online yang sama sekali tidak memfasilitasi transaksi antara penjual dan pembeli. Seperti halnya iklan baris di koran, media yang bersangkutan tentunya tidak mungkin mengenakan PPN terhadap transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Namun demikian, kedua model bisnis di atas tetap mengenakan pajak untuk layanan atau produk yang mereka jual kepada penggunanya. Untuk iklan baris online yang pendapatan utamanya bersumber dari fitur premium (seperti sundul, posisi iklan teratas, dan lainnya), tentu mengenakan PPN untuk setiap fitur yang dijual. Maka itu perlu pemahaman yang mendalam mengenai model bisnis masing-masing untuk dapat memberlakukan aturan yang objektif dan konstruktif bagi industri. Di luar soal PPN, sempat juga timbul wacana pengenaan pajak cuma-cuma bagi model bisnis seperti iklan baris online, yang sebagian besar jasanya dapat dinikmati oleh masyarakat pengguna secara gratis. Model bisnis yang sering dikenal dengan konsep freemium ini cukup jamak di ranah digital, yang pada umumnya menguntungkan bagi konsumen. Tentunya layanan gratis ini tidak bisa disamakan dengan pemberian sampel produk gratis yang menurut aturan memang dikenakan pajak cuma-cuma. “Pada intinya kami sebagai pelaku usaha telah dan terus beritikad baik untuk melaksanakan kewajiban pajak sesuai aturan yang berlaku. Yang kami inginkan adalah kejelasan mengenai aturan perpajakan tersebut,” papar Daniel.
“Menurut perspektif kami, aturan pajak yang berlaku di ranah offline secara otomatis berlaku juga di online. Untuk itu tidak perlu dibuat aturan tambahan yang akan justu akan membingungkan industri,” sambungnya. Dia mengkhawatirkan, apabila dibuat pajak berlapis, para pelaku usaha online yang berbadan hukum di negara ini akan menjadi kurang kompetitif dibandingkan pemain di luar negeri. “Daripada fokus pada pemain dalam negeri yang sebenarnya sudah ikut aturan, coba juga pikirkan strategi memajaki pemain asing yang mendulang keuntungan dari pasar Indonesia,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan