Pajak ekonomi digital masih perlu perencanaan yang matang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menetapkan pajak ekonomi digital sebagai salah satu aspek penerimaan pajak di tahun depan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menilai mekanisme pemungutan pajak ekonomi digital perlu dilakukan secara matang. Sebab, perusahaan digital tidak hanya di Indonesia tapi banyak yang berlokasi di luar negeri.

Meski demikian, lambat laun perusahaan digital internasional tercatat sebagai perusahaan dalam negeri. Misalnya, PT Google Indonesia sudah menjadi Badan Usaha Tetap (BUT) di antara perusahaan internasional yang tergolong Over The Top (OTT).


Makanya, Google akan menerapkan Pajak Penambahan Nilai (PPN) sebesar 10% atas layanan Google Ads. Suahasil menilai secara makro ini adalah konsekuensi Google sebagai BUT dalam menegangakkan administrasi pajak.

Baca Juga: Sri Mulyani: Filosofinya untuk membuat ekonomi Indonesia kompetitif

Sementara itu, potensi pajak digital masih sangat besar. Suahasil mengaku banyak perusahaan asal luar negeri yang mematik untuk atas transaksi di Indonesia, sebut saja Spotify dan Netflix.

Kedua perusahaan itu, menetapkan biaya berlangganan kepada penggunanya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

“Menghasilkan pendapatan dan profit dari Indonesia tapi  bukan perusahaan Indonesia. Makanya harus dibuat sebagai BUT. Spotify dan Netflix tidak ada PPN maka ya tergeruslah potensi PPN,” kata Suahasil seusai rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR Ri, Rabu (4/9).

Menurut Suahasil, masalah ekonomi digital adalah isu internasional. Tidak hanya Indonesia yang kehilangan potensi penerimaan pajak. Untuk itu setiap negara diupayakan merumuskan penerapan pajak atas perusahaan digital.

Suahasil bilang, semua negara tidak diam saja. Organisation for Economic Coorperation and Development (OECD) tengah membahas skema pemungutan pajak ekonomi digital.

Baca Juga: Inilah poin-poin penting di RUU perpajakan yang baru

Editor: Yudho Winarto