JAKARTA. Indonesia akan memiliki syarat lainnya untuk menjalankan Automatic Exchange of Information (AEoI), yakni akses terhadap
beneficial owner. Head of Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD Monica Bhatia mengatakan, terkait hal ini Indonesia akan segera di review oleh OECD pada asesmen ronde kedua. Pasalnya, menurut Monica, global forum memiliki standar bahwa semua anggota harus memenuhi persyaratan tersebut, yakni adanya identifikasi
beneficial ownership dari semua entitas, perusahaan, lembaga dan lain-lain. Direktur Perpajakan Internasional DJP Poltak Maruli John Hutagaol mengatakan, Ditjen Pajak akan bekerjasama dengan pihak lainnya di luar Ditjen Pajak dan di luar Kemenkeu untuk memenuhi standar ini.
Ditjen Pajak, menurut John telah memahami bahwa adanya akses kepada
beneficial ownership ini penting karena bisa menjangkau siapa sesungguhnya penerima penghasilan, karena biasanya banyak transaksi yang menggunakan nominee atau yang menerima keuntungan berada di belakang orang yang tercatat secara legal. “Ini tentunya komunitas internasional mau melihat apakah regulasi kita sudah meng-cover isu tersebut. Jadi untuk menghadapi asesmen ini DJP tidak bekerja sendirian,” katanya di kantor pusat DJP, Jumat (14/7). Kerja sama dengan institusi-institusi lain di luar DJP menurut John misalnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop), dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) terkait regulasi yang harus disiapkan “Untuk menghadapi ini DJP dan Kemenkeu tidak bekerja sendirian kita sudah menyiapkan itu dari jauh hari dengan Kemenkop, Kemendag, PPATK, dan seterusnya,” ujarnya. John melanjutkan, Undang-undang mengenai ketentuan keterbukaan beneficial ownership sendiri sedang digodok oleh PPATK. Nah, UU tersebut akan diharmonisasikan dengan aturan di ranah pajak. “Kami (DJP) juga punya aturannya. Jadi nanti kita harmonisasikan aturan di pajak dan di PPATK, juga di bursa,” kata dia. John melanjutkan, pajak sendiri bukan semata-mata instrumen untuk memenuhi penerimaan. Di sisi lain, pajak juga bisa menjadi instrumen pengatur perilaku masyarakat. “Global forum ingin dorong keterbukaan informasi perpajakan. Tidak boleh lagi main-main dengan agresif
tax planning,” ucapnya. Sebelumnya Monica mengatakan, mengingat standar
beneficial ownership ini berlaku untuk semua negara, maka bila tidak dapat di review dengan baik, implikasinya Indonesia tidak termasuk dalam negara yang patuh. Ia melanjutkan, langkah-langkah defensif akan dipertimbangkan oleh anggota G20 terhadap yurisdiksi yang tidak kooperatif atau tidak ada kemajuan yang dilakukan dari penilaian global forum.
“Indonesia akan di-review pada Juni 2018, jadi ada kesempatan saat ini untuk meraih rating yang lebih baik,” ucap Monica. Monica menjelaskan, informasi
beneficial ownership itu harus bisa diakses oleh otoritas pajak untuk dipertukarkan, “Otoritas pajak akan bisa mengakses informasi itu sehingga kita bisa berpindah ke isu anti korupsi. Ini adalah langkah besar,” kata dia. Dengan adanya asesmen ini, maka ia mengingatkan agar Indonesia secepatnya mengambil langkah apabila ada yang perlu dilakukan guna memenuhi standar ini. Satu hal lagi yang ia tekankan, Indonesia saat ini masih dalam kategori negara yang
partially compliance, dan itu, menurut dia bukan rating yang baik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto