KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumpulkan data transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) mulai Januari 2017. Data itu dikumpulkan agar memudahkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan bagi sektor e-commerce, termasuk kebijakan perpajakannya. Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Yunirwansyah mengatakan pihaknya akan dapat menggunakan data tersebut untuk keperluan perpajakan. Menurutnya, data apa saja pada dasarnya bisa dipakai untuk perpajakan. Kegunaannya, untuk klarifikasi dengan data yang dimiliki oleh Ditjen Pajak.
“Dengan PP 31, maka pihak instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya diwajibkan untuk memberikan data yang terkait perpajakan ke Ditjen Pajak,” kata Yunirwansyah kepada Kontan.co.id, Sabtu (16/12). Oleh karena itu, menurut Yunirwansyah, pihaknya akan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait guna mendapatkan data yang lebih banyak. “Kami akan komunikasi dengan semua pihak untuk optimalisasi data dan penerimaan,” ujarnya. Namun, pengusaha tidak perlu khawatir. Sebab, data yang akan diterima Ditjen Pajak dari BPS nantinya bukan untuk membidik pajak dari tiap pelakunya, melainkan hanya untuk perumusan kebijakan sehingga Ditjen Pajak tidak akan mendapatkan data yang spesifik per perusahaan dari BPS, tetapi hanya data yang sifatnya umum. Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mira Tayyiba menegaskan, BPS nantinya memang akan mendapat data per perusahaan. Namun data per perusahaan itu akan diolah dan di-publish dalam bentuk agregat. “Data per perusahaan dilindungi oleh BPS. Biar Menteri minta, tidak akan diberikan data per perusahaan itu,” ujarnya kepada Kontan.co.id. Ia menjelaskan, data yang akan ditangkap adalah data umum, seperti transaksi (volume dan nilai), jumlah seller, jumlah makers, termasuk sebaran geografisnya. “Intinya, pemerintah mau membuat lingkungan yang kondusif untuk pengembanhan e-commerce melalui kebijakan dan regulasi yang pro-inovasi dan tidak ‘mencekik’ pelaku e-commerce. Untuk itu kami memerlukan data,” ujarnya. Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association/idEA) menyatakan bahwa banyak perusahaan menganggap bahwa tidak wajib memberikan data karena belum menjadi perusahaan terbuka. “Selain itu, mereka juga takut soal pajak. Datanya takut sampai ke Ditjen Pajak," ujar Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis idEA Ignatius Untung di Hotel Borobudur, Jumat (15/12) lalu. Namun demikian, Ignatius menerangkan bahwa BPS sendiri terikat aturan untuk menjaga kerahasiaan data responden atau individu. "Saya sudah bilang data individu sampai ke menteri pun tidak dikasih. Jadi tidak ada alasan pelaku usaha e-commerce tidak mau memberikan data ke BPS, karena ini sama sekali tidak akan ke Ditjen Pajak," ucapnya.
Bagi perusahaan yang masih enggan memberikan datanya karena ketakutan tersebut, menurut Ignatius, tidak akan dikenakan sanksi. Sebab, pengumpulan data ini sifatnya sukarela dan tidak memaksa. “Tapi kalau tidak mau memberi data, jangan minta benefit dari data ini," ucapnya. Keuntungan dari adanya data ini menurut Ignasius, pelaku usaha bisa mengetahui posisinya di industri dengan membandingkan data makro dengan data perusahaan. “Seperti rapor saja. Dengan data ini, misalnya perusahaan tumbuh 100%, tapi dari data malah diketahui kategori mereka tumbuh 200%. Maka 100% itu nothing,” jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto