Pajak impor menekan emiten ritel



JAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan pajak penghasilan (PPh) bagi importir pada awal tahun 2014 bisa menjadi pukulan berat bagi emiten pengimpor. Salah satu emiten yang kena imbas adalah sektor ritel yang banyak mengimpor produk.

Rencananya pemerintah menaikan tarif PPh dari 2,5% menjadi 7,5% dari nilai impor. Kebijakan baru itu dimaksudkan untuk menekan defisit transaksi berjalan atau current account deficit.

Para analis menilai, rencana baru ini akan menjadi sentimen negatif bagi emiten ritel yang banyak menjual produk-produk impor. Analis Mandiri Sekuritas Janefer Amanda Soelaiman mengatakan, dampak kenaikan PPh impor pasti akan dirasakan oleh semua importir.


Emiten yang banyak melakukan impor di antaranya PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT Ace Hardware Tbk (ACES), dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

ACES misalnya, dalam laporan keuangan per kuartal III lalu, persentase pembelian barang impor mencapai 66,34% dari total pembelian Rp 1,58 triliun. Angka tersebut setara dengan Rp 481 miliar selama sembilan bulan.

Analis Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih mengatakan, perusahaan ritel sudah menghadapi banyak tekanan. Jika ditambah dengan kenaikan pajak impor, dia memproyeksikan, margin perusahaan ritel bisa makin tertekan.

Analis Credit Suisse Pricilla Tjitra, dalam risetnya 20 November 2013, juga melihat kenaikan pajak impor bisa menjadi sentimen negatif bagi emiten sektor ritel, terutama pada MAPI dan ACES. Akan tetapi, dia masih yakin, keduanya bisa melewati tantangan kenaikan pajak impor. Caranya dengan menaikkan harga jual produk. Namun, imbasnya harga produk akan menjadi lebih mahal ketimbang harga regional.

Alfatih juga sepakat, meski harus menaikkan harga jual, emiten ritel seperti MAPI dan ACES masih bisa bertahan. "Emiten yang menyasar segmen konsumen menengah ke atas akan memiliki daya tahan yang lebih baik," kata dia.

Namun, Janefer menyebut, kenaikan 5% tidak akan berefek besar bagi emiten ritel. Dia berkeyakinan, dampaknya hanya sementara dan tidak akan mempengaruhi kinerja emiten dalam jangka panjang. "Dampak bisa terjadi juga masih sulit diprediksi karena kebijakan pemerintah itu belum keluar," ujar dia.

Tekanan biaya lain

Tapi hitungan yang pasti akan terasa adalah kenaikan upah karyawan dan sewa tempat. Pasalnya, porsi tersebut adalah penyumbang terbesar dalam beban usaha perusahaan. Di ACES, misalnya, gaji karyawan memiliki porsi cukup besar dalam total beban usaha. Sampai kuartal III, total gaji mencapai 43,08% dari total beban usaha Rp 1,04 triliun. Sementara, biaya sewa toko mencapai 20,69% dari beban penjualan sebesar Rp 705,14 miliar atau setara dengan Rp 145,91 miliar.

Sementara itu, sewa toko memiliki porsi 35,62% dari total beban penjualan sebesar Rp 2,49 triliun. Sementara beban gaji dan tunjangan mencapai 25,93% dari total beban usaha setara Rp 647,94 miliar.

Selain itu, emiten ritel juga harus menghadapi melemahnya rupiah. Pasalnya, kenaikan harga jual produk tidak berdasarkan biaya produksi namun juga dari fluktuasi rupiah. Alfatih memperkirakan, rupiah baru bisa menguat di akhir tahun depan. Salah satu alasannya adalah pelaksanaan hajatan pemilihan umum (pemilu) akan menyebabkan ketidakpastian.

Perusahaan ritel seperti MAPI memang memiliki tingkat sensitivitas pada nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Dalam laporan keuangan per September 2013, MAPI menjelaskan, ini karena pinjaman dan pembelian persediaan menggunakan mata uang dollar AS, euro, dan poundsterling.

Kondisi yang sama juga dialami oleh ERAA yang memiliki beban cukup besar dalam mata uang asing. Pasalnya emiten ini membeli produk menggunakan valuta asing. ERAA menjual sejumlah merek ponsel, yakni Samsung, Nokia, dan Apple. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana