Pajak kejar properti, konsumen bisa terimbas



JAKARTA. Di pertengahan kedua tahun ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak laksana singa yang lapar. Instansi pemerintah pemungut pajak itu akan memeriksa kepatuhan para pengusaha di seKtor properti, terutama di kota-kota besar, mulai Juli dan Agustus 2013 hingga dua belas bulan mendatang.

Ditjen memperkirakan ada potensi penerimaan pajak hingga Rp 30 triliun. Jika hitungan versi Ditjen Pajak ini benar, berarti ada perputaran uang sekitar Rp 150 triliun di sektor properti yang tak dilaporkan ke Ditjen Pajak. Dana itu lolos dari incaran pajak karena perusahaan properti menghindari pajak dengan canggih.

Dalam pemeriksaan nanti, Ditjen Pajak akan memeriksa perusahaan properti sudah menyandang status sebagai perusahaan kena pajak (PKP), apakah mereka sudah memungut dan menyetorkan pajak dengan benar. Kalau perusahaan properti berlaku jujur, mereka mengakui kekurangan pajak dan membayar kekurangannya. Namun jika mereka tak mengakui, sengketa pajak akan berlangsung lama hingga ke tingkat pengadilan pajak. “Kami berharap mereka patuh dan langsung membayar daripada banding hingga ke pengadilan,” kata Chandra Budi, Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak.


Sekadar informasi, pajak yang berlaku saat ini untuk setiap transaksi jual beli properti adalah bea peralihan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai jual. Pajak ini dipungut oleh pemerintah daerah. Lalu, pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dibayar oleh perusahaan properti dan pajak pertambahan nilai (PPN) 10% yang menjadi tanggungan konsumen pembeli.

Masalahnya perusahaan properti diduga selama ini menghindari pajak dengan sangat rapih. Modus yang umum terjadi ialah: melaporkan nilai jual unit properti di akta jual beli lebih rendah dari nilai sebenarnya. “Akta jual beli banyak yang tidak menggunakan harga sebenarnya,” kata Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak.

Alhasil, jika nilai jual unit properti yang tertulis di akta jual beli lebih rendah, maka penerimaan negara dari pajak pun akan berkurang. Ditjen Pajak menduga modus semacam ini dilakukan perusahaan properti bersama notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). “Notaris-notaris akan kami persoalkan. Notaris termasuk banyak yang berkomplot, tutup mata,” ujar Fuad sewot.

Djoko Karyoso, notaris yang membuka kantor di daerah Tangerang Selatan, Banten, bilang, notaris dan PPAT memang terlibat dalam proses jual beli unit properti. Tapi, soal pajak, itu tanggungjawab penjual dan pembeli. “Kami sudah menerima bukti pembayaran pajak yang sudah divalidasi pemerintah daerah,” terang Djoko.

Menurut Djoko, para notaris bukan tidak mau tahu mengenai harga jual di akta jual beli. Namun, peran notaris hanya memfasilitasi transaksi yang telah disetujui oleh penjual dan pembeli serta memenuhi persyaratan. “Kami, misalnya, tidak mau jika tak ada bukti pajak yang divalidasi,” imbuhnya.

Sumber KONTAN di Ditjen Pajak bercerita, modus penghindaran pajak di sektor properti kian berkembang. Modus mencantumkan nilai jual unit property yang tak sebenarnya merupakan cara klasik. Kini ada enam modus baru yang dilakukan oleh perusahaan properti untuk menghindari pajak. Contoh, penghindaran pajak sewaktu melaporkan pembayaran unit properti yang telah terjual ke konsumen. Dalam laporannya, perusahaan properti mengaku penjualan unit properti dilakukan dengan cara mencicil, sehingga pajak disetorkan sesuai dengan jangka waktu dan jumlah cicilan. Padahal, bank membayar kepada pengembang secara tunai, bukan mencicil. Yang mencicil adalah pembeli properti.

Untuk memburu pajak dari perusahaan properti, para pemeriksa pajak kelak tidak hanya membedah pembukuan perusahaan, tapi juga mengecek ke lapangan yakni ke unit-unit properti yang terjual. Namun, proses pemeriksaan ini bukan tanpa kendala. Misalnya, Ditjen Pajak harus membekali setiap pemeriksa pajak dengan peralatan untuk mengecek luas tanah dan bangunan kala terjun ke lapangan. “Setahu saya alat itu belum ada,” ungkap pemeriksa pajak yang menolak namanya ditulis.

Cuma, pemeriksa pajak tadi mengatakan, yang akan kebakaran jenggot dari aksi Ditjen Pajak ini bukan hanya perusahaan properti, tapi juga konsumen. Sebab, perusahaan properti yang ketahuan kurang bayar pajak akan menagih kekurangan pajak itu ke konsumen. Akibatnya, pemilik properti mau tidak mau akan merogoh kocek untuk membayar pajak karena harga jual propertinya di akta jual beli telah disesuaikan dengan harga sebenarnya. “Kami juga takut konsumen marah,” ungkap dia.

Setyo Maharso, Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), bilang, pembebanan kurang bayar pajak kepada konsumen tergantung jenis pajaknya. Jika hasil pemeriksaan Ditjen Pajak menemukan ada kurang bayar pajak, maka siapa pihak yang harus membayar akan mengacu ke jenis pajaknya. “Kalau masalahnya ada di BPHTB, yang harus bayar kekurangannya adalah pembeli, bukan perusahaan properti,” terang Setyo. Setyo menegaskan, semua anggota REI yang sudah berstatus PKP taat membayar pajak, sehingga tak mungkin menghindari pajak. Sampai kini, 3.000 anggota REI aktif dan tersebar di Indonesia.

Kita tunggu saja, hasil pemeriksaan yang akan berbicara. o

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris