Sebelumnya: Pajak kian rajin membidik pengusaha kecil (1); Banyak Akal Hadapi Wajib Pajak Nakal Tarif Bikin Senang, Treshold Bikin Meriang
Kabar yang berembus dari kantor pajak tak selalu membikin wajib pajak (WP) meringis. Kali ini ada kabar baik, terutama bagi WP yang termasuk golongan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Ialah rencana pemerintah yang ingin memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) final untuk UMKM. Ini bukanlah wacana baru. Paling tidak, sejak Bambang Brodjonegoro masih menjabat sebagai Menteri Keuangan (Menkeu), rencana tersebut sudah menguar ke permukaan.
Catatan KONTAN, sejak awal Juni 2016 pemerintah sudah mengumbar rencana menurunkan PPh final untuk UMKM. Namun, saat itu belum terdengar berapa persen PPh final yang bakal dikenakan. Belakangan, pembahasan di pemerintah kian mengerucut. Pada 19 Januari 2018 lalu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut persentase 0,5%. Tapi tunggu dulu, yang dimaksud Sri Mulyani adalah PPh final bagi UMKM yang berdagang via daring di
e-commerce. Lantas, bagaimana dengan PPh final bagi UMKM yang tidak berbisnis di dunia maya? Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama yang dikonfirmasi belum mau membuka suara. Ia cuma bilang, pembahasan intensif di internal pemerintah kini berlangsung. Namun, jika disimak dari pernyataannya, tarif bagi pebisnis UMKM, baik yang berusaha di dunia nyata maupun di dunia maya, bakal sama. Ia mengamini, rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 memang sudah sejak lama dibicarakan. Nah, sekarang, di saat yang bersamaan Kementerian Perdagangan juga tengah membahas aturan soal e-commerce. Walhasil, kedua calon regulasi tersebut menyentuh lahan yang sama: UMKM. “Karena ada irisan yang sama dengan regulasi di e-commerce tadi dengan PP 46/2017, bukan dijadikan satu aturan. Tapi kebijakannya disinkronkan dan diharmonisasi,” kata Hestu Yoga. Bareng e-commerce Lalu, kapan kabar baik itu akan menjadi kenyataan? Sejatinya, pedomannya sudah ada di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 tahun 2017 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 Juli 2017. Mengacu ke Perpres tersebut, Peraturan Menteri Perdagangan soal e-commerce mesti dirilis pada Februari tahun ini. Nah, biar bisa berjalan beriringan, revisi PP 46/2017 juga bisa dirilis pada saat bersamaan. Atau dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama. “Regulasi e-commerce harus segera keluar sesuai dengan Perpres 74 pada Februari atau Maret. Nah, revisi PP 46 tahun 2017, ini harus mendapatkan akselerasi untuk segera selesai,” imbuh Hestu Yoga. Satu yang pasti, berapa pun dan kapan pun penurunan tarif PPh final, bakal menjadi angin segar. Bagi para pengusaha kecil, penurunan tarif pajak bisa menjadi insentif yang menarik. Apalagi, peta persaingan saat ini tak sama lagi dengan beberapa tahun silam. Edward Subrata, pemilik toko elektronik Kharisma di kawasan Glodok, Jakarta Barat menyebut, penjualannya sudah turun 15% dibanding dua tahun lalu. “Pengusaha UMKM masih butuh banyak insentif,” ujar Edward. Darussalam, Pengamat Perpajakan berujar, UMKM memang membutuhkan kemudahan secara administrasi melalui skema khusus berupa pengenaan pajak secara final. Di dunia internasional, sistem pengenaan pajak seperti ini dinamakan schedular taxation. Namun kenyataannya, hanya mengandalkan skema PPh dengan tarif final semata tidak cukup menarik minat pelaku UMKM. Dus, pemangkasan tarif PPh menjadi senjata merayu UMKM agar mau masuk ke dalam sistem perpajakan. Buktinya, dengan tarif PPh final 1%, menurut data tahun 2016, hanya ada sekitar 600.000 pengusaha UMKM yang membayar pajak sesuai dengan PP 46/2017. Padahal, menurut klaim Hestu Yoga, pihaknya sudah melakukan sosialisasi dengan targetting WP tertentu. Contoh lainnya, saat program pengampunan pajak digelar, hanya ada sekitar 433.000 WP UMKM yang mengikuti tax amnesty. Sekitar 74% di antaranya merupakan WP orang pribadi. Padahal, potensi yang bisa digali jauh lebih besar daripada yang sudah terekam dalam sistem perpajakan. Berdasar data Kementerian Koperasi dan UKM yang merujuk perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah UMKM di Indonesia hampir 60 juta. (
lihat infografis: Perbandingan Jumlah Unit Usaha di Indonesia) Pendapatan naik Meski tarif PPh final dengan penghasilan bruto tertentu diturunkan, pemerintah rupanya tidak khawatir penerimaan pajak bakal tersunat. Ini bukan soal setoran pajak dari WP golongan UMKM yang selama ini memang rendah. Kalau tarif finalnya diturunkan, tidak akan banyak berpengaruh terhadap penerimaan pajak secara total. Sebaliknya, dengan penurunan tarif Pph final, asumsinya jumlah WP UMKM yang patuh pajak bakal bertambah banyak. Ini ibarat logika pedagang grosiran saja. Keuntungan dari penjualan produk secara satuan boleh saja kecil. Tapi volume barang yang dijual dalam jumlah besar. Di sisi lain, alih-alih turun, penerimaan pajak berpotensi naik melalui revisi PP 46/2013. Bukan berkat strategi tarif, melainkan melalui penurunan ambang (treshold) batas peredaran bruto tertentu yang dikenakan PPh final. Saat ini WP jenis apapun bisa mengikuti rezim tarif PPh final, jika omzetnya dalam setahun tidak lebih dari Rp 4,8 miliar. Mestinya kata Hestu Yoga, kemudahan semacam ini tidak bisa diberikan terus-menerus. Setelah beberapa tahun menikmati fasilitas pajak rendah, pelaku usaha seyogyanya sudah lebih berkembang sehingga bisa masuk ke sistem perpajakan dengan tarif yang normal. Pertimbangan lainnya, setelah bertahun-tahun menikmati pajak rendah, seolah-olah nilai peredaran usaha WP tidak berkembang. Ini bisa dilihat dari hampir tidak adanya WP yang menikmati pajak final 1% naik kelas menjadi pembayar pajak dengan tarif yang normal. Belum lagi, tidak sedikit wajib pajak yang saking betahnya berada di zona nyaman, rela mengakali omzet usahanya sendiri. “Kecenderungan WP yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar itu mau masuk ke situ (PPh final 1%-red), dengan cara memanipulasi omzetnya. Nah, ini yang kami evaluasi terus,” tandas Hestu Yoga. Cuma, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mewanti-wanti pemerintah agar lebih cermat dan hati-hati dengan ide penurunan ambang batas yang saat ini ada di Rp 4,8 miliar. Sebab, jika dilakukan tanpa kajian yang mendalam, langkah tersebut malah bisa kontraproduktif dengan usaha pemerintah untuk mendorong pertumbuhan usaha di Indonesia. Lagipula, penurunan ambang batas penghasilan bruto tertentu malah bisa membuka potensi perilaku curang. Wajib Pajak bisa saja memecah usahanya agar omzetnya tetap di bawah threshold. Dengan begitu, tujuan pemerintah untuk meningkatkan jumlah wajib pajak dan memperluas basis pajak malah tidak tercapai. Dus, daripada mengotak-atik ambang batas penghasilan bruto Rp 4,8 miliar, ia mengusulkan, perubahan PP 46/2013 juga mencakup urusan layering tarif pajak. Sejauh ini pemberlakuan tarif PPh final 1% main pukul rata, diberlakukan bagi semua skala usaha, asalkan omzetnya dalam setahun tidak lebih dari Rp 4,8 miliar. Padahal, cara ini belum tentu yang paling adil. Sebab, pelaku usaha mikro yang omzetnya tidak sampai Rp 300 juta, perlakuan pajaknya malah disamakan dengan pengusaha skala menengah yang punya omzet hingga Rp 50 miliar. Lapisan tarif yang dimaksud Yustinus misalnya, untuk pelaku usaha mikro dengan omzet di bawah Rp 300 juta setahun diberikan pembebasan pajak. Tarif 0,25% diberlakukan untuk WP dengan omzet di atas Rp 300 juta sampai dengan Rp 600 juta. Lalu, tarif 0,5% dibebankan bagi WP yang memiliki omzet di atas Rp 600 juta sampai dengan 1,8 M.
Layer terakhir, WP dengan omzet di atas Rp 1,8 miliar sampai dengan Rp 4,8 miliar membayar pajak 1% yang terdiri dari PPh final 0,5% dan PPN 0,5%. “Ini sekaligus sebagai edukasi dan persiapan WP menjadi pengusaha kena pajak (PKP),” kata Yustinus. Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan kriteria WP yang boleh memanfaatkan skema pajak rendah ini. Misalnya, hanya untuk WP OP. Sementara untuk WP badan menggunakan skema normal dengan pembukuan sederhana. Namun, ini mesti dibarengi dengan penyediaan sistem untuk pembukuan hingga pelaporan yang praktis dan sederhana. Pembagian tarif final berdasar omzet ini rupanya didukung pelaku UMKM. Freddy Ginanjar, pembuat sarung tangan Freestyle, asal Garut, Jawa Barat bilang, mekanisme tersebut lebih adil bagi pelaku usaha. “Lagipula, para wajib pajak memang harus diedukasi terlebih dahulu, jangan langsung ditagih,” tandasnya.
Lebih dari itu, upaya pemerintah mengejar pengemplang pajak kelas kakap belum terlihat mendatangkan hasil. “Selama ini hanya terus menekan yang kecil. Kalau ini terus terjadi, mustahil target pajak yang tiap tahun naik bisa tercapai,” keluhnya. Nah, WP nakal kelas kakap jangan dilupain, ya, pak!
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 29 Januari - 4 Februari 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Tarif Bikin Senang, Treshold Bikin Meriang" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga