JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berupaya mempermudah mekanisme akses data perbankan. Walau masih belum bisa menembus akses data perbankan secara langsung karena dilindungi Undang-Undang (UU) Perbankan, otoritas pajak akan membuat sistem khusus yang membuat permintaan data perbankan lebih mudah. Apalagi dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak yang Terikat Kewajiban Merahasiakan, permintaan data perbankan kini tidak melalui Bank Indonesia (BI). Namun, permintaan itu harus melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beleid itu juga membuka peluang bagi Dirjen Pajak untuk membuka data perbankan melalui aplikasi elektronik. Dalam PMK yang lama mekanisme permohonan tidak diatur secara spesifik dan dilakukan secara manual melalui surat menyurat.
Untuk itu, Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengaku akan membuat aplikasi dan sistem khusus secara elektronik. Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, selama ini, pihaknya harus mengajukan surat permohonan ke Menteri Keuangan setiap kali ingin meminta data yang dilindungi, seperti data perbankan. Setelah surat permohonan ditandatangani Menkeu, baru kemudian Menkeu mengajukan surat tersebut kepada otoritas terkait. Jika dalam PMK sebelumnya, Menkeu harus mengajukan permohonannya pembukaan data perbankan ke BI, kini berubah. Perubahan terjadi karena peran pengawasan perbankan kini ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga surat permintaan dari Menkeu dalam PMK terbaru harus diajukan kepada OJK. Walaupun begitu, menurut Hestu, syarat untuk bisa mendapatkan data perbankan masih akan sangat ketat. Yaitu hanya data perbankan milik wajib pajak (WP) yang tengah diperiksa atau ditemukan bukti permulaan atau dalam tahap proses hukum perpajakan lainnya. "Kita mengusulkan agar hal itu diperluas," kata Hestu, Kamis (12/1). Sulit disetujui Perluasan akses data perbankan oleh otoritas pajak, Kasubdit Peraturan KUP & Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dodik Samsu Hidayat mengatakan, otoritas pajak sangat membutuhkan informasi perbankan. Data itu akan dijadikan pembanding dalam melakukan pengawasan kepatuhan membayar pajak oleh Wajib Pajak. Hanya saja, sebelumnya Deputi bidang Pengawasan Perbankan OJK Mulya Siregar bilang, sejauh ini, aturan kerahasiaan perbankan diperlukan agar bisa menarik investasi. Ia beralasan, Indonesia pernah menghadapi permasalahan yang pelik dalam menarik dana pengusaha Indonesia yang lari keluar negeri pasca gejolak politik tahun 1966. Berbagai cara pada saat itu dilakukan, namun aliran dana yang masuk sangat seret. "Dana-dana investasi baru kembali melonjak setelah UU Perbankan dibuat pada tahun 1992," katanya.
Mulya khawatir, jika data perbankan dibuka kembali untuk pihak lain, termasuk otoritas pajak, minat investasi di Indonesia akan berkurang. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, keterbukaan data perbankan untuk perpajakan tidak akan mudah disetujui. Sebab, perbankan dan pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda. Namun, dia mendukung data perbankan bisa diakses Ditjen Pajak. Jika data itu dibuka bagi otoritas pajak, mudah bagi pemerintah melakukan
benchmarking dan menguji kepatuhan WP. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie