Pajak menekan daya beli konsumen atas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,4% dinilai sulit tercapai. Sebab, konsumsi rumah tangga yang menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi belum pulih. Kebijakan perpajakan dituding jadi salah satu biang keladi terhambatnya pemulihan daya beli masyarakat, terutama pada kelompok ekonomi menengah ke atas.

Belum normalnya daya beli konsumen terindikasi dari inflasi inti hingga Maret 2018 hanya 0,76%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu yang di atas 1%. Inflasi inti jadi tolok ukur yang pas menggambarkan daya beli, karena indeks harga konsumen tersebut diukur dari harga barang yang tidak diatur pemerintah dan bukan barang bergejolak.

Hasil kajian Center of Reform on Economics (CORE) terbaru juga menunjukkan, lambatnya pemulihan daya beli masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tak berimbang. "Pemerintah cenderung meningkatkan daya beli di masyarakat bawah melalui percepatan dan peningkatan penyaluran bantuan sosial, sedangkan di masyarakat (berpendapatan) menengah bawah tidak disentuh," kata Muhammad Faisal, Direktur CORE, Selasa (24/4).


Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi belanja bansos kuartal I-2018 mencapai Rp 17,9 triliun atau 23,2% dari alokasi. Jumlah itu naik dua kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya Rp 9,5 triliun.

Namun, pemerintah belum memulihkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki kontribusi sebesar 83% terhadap konsumsi. Hal itu terbukti dari hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia (BI). Penjualan eceran pada Januari dan Februari 2018 mencatatkan pertumbuhan negatif dari bulan ke bulan. Januari 2018 pertumbuhan indeks penjualan riil turun 7,3% dan Februari kembali susut 1,7%.

CORE menduga hal itu merupakan imbas kebijakan pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sempat mengeluarkan aturan pembuatan faktur pajak dengan data di kartu tanda penduduk (KTP), meski kemudian ditunda sampai batas waktu tak ditentukan. Lalu, ada kebijakan pelaporan data transaksi kartu kredit.

Kebijakan represif pajak dilakukan untuk mengejar target pajak tahun ini yang tinggi Rp 1.424 triliun, naik hampir 24% dibandingkan pencapaian tahun 2017. "Yang kami khawatirkan kalau potensinya tidak sampai segitu, tapi dipaksa mengejar target, akhirnya adalah semacam intimidasi," jelas Faisal.

Namun menurut Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Humas Pajak Hestu Yoga Saksama, memang ada potensi target penerimaan pajak yang lebih tinggi. "Dengan tax ratio yang baru 10,8%, kami yakin masih terdapat ruang cukup besar untuk peningkatan melalui program reformasi di atas," katanya. Dia juga menilai tidak relevan mengaitkan penurunan porsi konsumsi di satu sisi dan peningkatan porsi tabungan di sisi lain, dengan upaya perbaikan yang dilakukan Ditjen Pajak.

Pakar pajak dan Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, anggapan target pajak menekan daya beli bisa dibenarkan. Namun, hal itu susah dibuktikan. "Target yang tinggi biasanya akan mendorong Ditjen Pajak agresif. Tapi Pak Robert (Robert Pakpahan, Dirjen Pajak) tampaknya ingin mengubah pandangan seperti itu," terang Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati