Pajak menjadi tumpuan anggaran



JAKARTA. Jika tidak ada aral melintang, pemerintah akan menyerahkan nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) tahun 2015 ke DPR Jumat ini (16/1).

Dalam RAPBN-P 2015 ini, ada sejumlah perubahan besar yang dilakukan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan pemerintah di era sebelumnya. Ini terutama dalam mengusulkan besaran asumsi anggaran pemerintah.

Pertama, dalam RAPBN-P 2015, pemerintah memangkas besar-besaran nilai anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dalam RAPBN-P, pemerintah mengusulkan anggaran subsidi BBM hanya Rp 81 triliun. Besaran subsidi ini hanya 29,35% dari pagu subsidi BBM dalam APBN 2015 yang mencapai Rp 276 triliun. 


Dari anggaran subsidi Rp 81 triliun, Rp 25 triliun dialokasikan untuk carry over Pertamina pada tahun lalu. Artinya, anggaran subsidi BBM yang murni diusulkan pemerintah hanya Rp 56 triliun.

Kedua, untuk pertama kali sejak tahun 2005, anggaran infrastruktur yang diusulkan dalam APBN melebihi anggaran subsidi. Dalam RAPBN-P 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 282 triliun atau naik Rp 92 triliun dari pos di APBN 2015 Rp 190 triliun.

Ketiga, untuk pertama kalinya pula, pemerintah mengusulkan asumsi penerimaan pajak dari sektor non minyak dan gas bumi (migas) melonjak sekitar 40% atau setara Rp 350 triliun menjadi Rp 1.250 triliun dalam RAPBN-P 2015. 

Asumsi kenaikan penerimaan pajak ini dihitung dari realisasi penerimaan pajak non migas tahun 2014 yang cuma Rp 897 triliun atau meleset dari target APBN-P 2014 sebesar Rp 980 triliun. "Jadi, kenaikan pajak sebesar Rp 350 triliun itu dihitung dari realisasi 2014 sebesar Rp 900 triliun. Sepanjang sejarah Indonesia belum pernah naik lebih dari 20%," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di rumah dinasnya, Jakarta, Rabu malam (14/1).   

Jadi, lanjut Bambang, total anggaran penerimaan yang diusulkan pemerintah dalam RAPBN-P 2015 ialah Rp 1.769 triliun dan anggaran belanja Rp 1.994 triliun. Defisitnya adalah 1,9% dari PDB, turun dari APBN 2015 yaitu 2,2%.

Asumsi ICP turun

Jika melihat postur asumsi tersebut, boleh dibilang, postur RAPBN-P 2015 masih lebih besar belanja daripada penerimaan. Penurunan nilai belanja maupun penerimaan di RAPBNP 2015 secara umum karena penurunan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) dari US$ 105 di APBN 2015 menjadi US$ 70 per barel. 

Selain itu, Bambang bilang, dalam RAPBN-P 2015, pemerintah menurunkan target PNBP migas sebesar hampir Rp 130 triliun. Dalam APBN 2015, target PNBP dari migas mencapai Rp 224,3 triliun. Penurunan target penerimaan PNBP migas merupakan dampak perubahan ICP. 

Untuk menutupi bolongnya anggaran tersebut, pemerintah bakal menggenjot penerimaan pajak. Dalam RAPBN-P 2015, pemerintah menaikkan target penerimaan pajak sebesar Rp 100 triliun. Ini artinya, penerimaan pajak tahun ini ditargetkan menjadi sebesar Rp 1.490 triliun. Angka ini naik sebesar Rp 110 triliun dari target penerimaan pajak dalam APBN 2015 sebesar Rp 1.380 triliun.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri menilai, struktur anggaran negara apabila sudah tidak memuat subsidi BBM adalah struktur anggaran yang sehat. Tapi, Chatib melihat ada dua sisi risiko yang mengikuti RAPBN-P 2015 meskipun sudah masuk kategori sehat. 

Pertama, dari sisi penerimaan, dan kedua dari sisi belanja. Penerimaan perpajakan dipasang target kenaikan hingga Rp 110 triliun. Jika pajak dinaikkan, maka harus dipastikan belanja pemerintah juga berjalan. "Kalau orang dipajakin, tapi belanjanya tidak keluar, anggaran terkontraksi sehingga tidak akan bisa mendorong pertumbuhan," kata Chatib. 

Kepala Ekonom Standard Chartered Fauzi Ichsan berpendapat, struktur RAPBN-P 2015 adalah salah satu struktur APBN tersehat. Alasannya, subsidi BBM jauh berkurang dari pagu sebelumnya, sehingga anggaran relatif aman. 

Tapi, menurut Fauzi, yang perlu diwaspadai terhadap struktur RAPBN-P 2015 adalah asumsi rupiah dan harga ICP. Rata-rata nilai tukar rupiah yang direncanakan Rp 12.200 per dollar Amerika Serikat (AS). Fauzi menilai agak berani karena ia memperkirakan rupiah tahun ini akan mendekati level Rp 12.500. "Pada semester kedua, suku bunga AS akan naik dan menekan mata uang semua negara termasuk mata uang Indonesia," kata Fauzi. 

Sementara itu, untuk ICP yang rencananya sebesar US$ 70 per barel adalah level yang konservatif. Yang perlu diwaspadai adalah fluktuasi ICP yang bisa saja lebih rendah dari US$ 70 per barel. Asumsi ICP yang tidak mencapai pagu akan berpengaruh terhadap penerimaan negara serta harga komoditas yang akan membuat ekspor anjlok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto