Pajak Minimum Global Jadi Persoalan, Kemenkeu: Masih Dibahas Internal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi pajak minimum global sempat menjadi persoalan. Belum lama ini, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta penerapan pajak minimum global ditinjau kembali.

Bahlil menilai, penerapan pajak minimum global hanya akan menguntungkan negara-negara tertentu, dalam hal ini negara maju yang daya saing investasinya lebih kuat.

Merespons hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan pembahasan dalam lingkup internal terkait penerapan pajak minimum global tersebut.


"Dapat kami sampaikan bahwa Global Minimum Tax (GMT) masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan," ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (23/8).

Baca Juga: Dongkrak Tax Ratio, Kemenkeu Jalin Kerjasama dengan 367 Pemerintah Daerah

Sebagai informasi, dalam Pilar Dua: Global Anti Base Eresion (GloBE) tersebut mensyaratkan penerapan pajak penghasilan (PPh) korporasi dengan tarif minimum sebesar 15%. Pajak minimum tersebut akan diterapkan pada perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas € 750.

Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, pengenaan pajak minimum global yang menjadi bagian dari Proyek Base Eresion and Profit Shifting (BEPS) 2.0 diyakini akan memberikan manfaat.

Menurutnya, adanya tarif pajak efektif sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan kriteria tertentu di manapun Ia beroperasi dimaksudkan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak dan tensi kompetisi pajak.

Bawono menyebut, pajak minimum global tersebut akan berdampak bagi potensi penerimaan pajak Indonesia melalui tiga channel. Pertama, mengurangi kebocoran pajak akibat praktik penghindaran pajak.

Kedua, mengurangi potensi pajak yang hilang dalam tax expenditure yang didorong dari peninjauan ulang atas berbagai insentif pajak. Ketiga, adanya top-up tax yang bisa dipungut oleh Indonesia.

Kendati begitu, menurutnya ada hal yang perlu dicermati oleh pemerintah. Pasalnya, terdapat pergeseran antara BEPS 1.0 dan BEPS 2.0.

Bawono bilang, dalam proyek BEPS 1.0 (2015), yang dikoreksi ialah pemberian insentif pajak dan prefential tax regime yang bermaksud untuk menarik pengalihan laba tanpa harus memiliki substansi kegiatan usaha (paper profit).

Baca Juga: Pemerintah Buka Kembali Penempatan Pekerja Domestik di Negara Kawasan Timur Tengah

"Artinya, memerangi praktik harmful tax competition yang dimotori oleh negara-negara tax haven," ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Senin (23/8).

Sedangkan dalam proyek BEPS 2.0, koreksi turut dilakukan terhadap berbagai insentif yang berpotensi mengurangi tarif pajak efektif. Artinya, negara berkembang yang selama ini memberikan fasilitas insentif untuk menarik investasi asing (FDI) yang memiliki kegiatan ekonomi yang substantif juga akan terdampak.

Misalnya saja tax holiday untuk pembangunan manufaktur.

Editor: Tendi Mahadi